Wednesday, February 4, 2009
Sheikh Ezzuddin Al Qassam
dakwatuna.com - “Wahai kaum muslimin, kalian sudah sangat tahu urusan agama kalian, sampai tak ada satu pun di antara kalian yang tak mengetahuinya. Kalian juga tahu persoalan negeri ini hingga telah sampai kewajiban jihad kepada kalian semua. Atau apakah belum sampai juga pada kalian? Ya Allah, maka saksikanlah!! Berjihadlah wahai umat Islam!! Berjihadlah wahai kaum muslimin!!” Tegas Izzuddin Al-Qossam, imamnya syuhada Palestina, saat khutbah terakhir menjelang syahidnya.
Cahaya matahari menjadi saksi atas syahidnya seorang ulama mujahid. Syekh Al-Qossam, namun semangatnya masih tetap membakar jiwa seluruh rakyat Palestina. Sampai sekarang, namanya bahkan masih bisa membuat pasukan Israel terkencing-kencing, karena ia menjelma menjadi sekelompok ksatria yang mewarisi semangatnya: Brigade Syahid Izzuddin Al-Qossam.
Subuh adalah sepenggal waktu yang nyaman untuk dinikmati. Karena oksigen masih fresh seperti siraman embun yang jatuh ringan menutupi permukaan bumi. Subuh adalah sebening anak pra aqil baligh yang belum berdosa.Tapi perasaan nyaman terhadap subuh tidak terjadi di Akhros sebuah desa di dataran rendah seputar Haifa.
Sungguh, tiba-tiba subuh tidak lagi bening dan hening. Tikar sajadah baru saja dilipat. Lidah masih basah dengan wirid shabah. Tak ada teh panas yang dapat dinikmati, apalagi roti sebagai penganan pagi. Tidak perduli dengan segala burung yang bernyanyi merayakan datangnya matahari yang membagi sinarnya ke bumi. Pagi itu tepat 20 September 1935, Syekh Al-Qossam dan para sahabatnya harus berhadapan langsung dengan para penyerang yang datang tiba-tiba dari tiga penjuru sekaligus.
Dentuman senjata berat dan ledakan-ledakan terdengar mengusik keindahan pagi dan menyapu hawa dingin dengan panas mesiu. Kilatan senjata pembunuh itu merobek keceriaannya dan menggantinya dengan kepulan awan hitam yang meringis. Serangan membabi buta itu tidak meninggalkan sepenggal rasa kemanusiaan sedikitpun. Inggris dan Yahudi membumi hanguskan pemukiman Syekh Al-Qossam untuk mengakhiri perlawanannya.
Setelah beberapa jam membombardir, serangan itu terhenti tetapi serentetan tembakan sporadis masih terdengar, kemudian sepi. Sebuah ledakan mengguncang, kemudian sunyi kembali. Alam menjadi saksi atas pertempuran yang tak seimbang itu. Inggris mengerahkan 400 tentaranya demi menumpas puluhan pengikut Syekh Al-Qossam.
Di ufuk timur deretan awan lengkung seperti alis yang menyiratkan suasana kelam. Serentetan tembakan kembali terdengar, horison pun kini senyap seperti mata yang pejam. Sebuah ledakkan kembali berguncang, namun tiba-tiba langit seolah mengangkat pelupuknya, dan nyalang terbuka. Dipandanglah matahari, muram dan merah. Dengan berat ditataplah bumi, para pejuang tersungkur, tubuh-tubuhnya hancur, tanah bersimbah darah… Mentari yang baru muncul tak menemukan keceriaan pagi selamanya.
“Pasukan kami telah memasuki permukiman itu, dan sekarang mereka telah menguasai. Sekarang tidak ada konfrontasi, siapapun yang membawa senjata akan ditangkap,” kata komandan operasi Kerajaan Inggris.
“Kami sedang mengejar para buronan dan menahan mereka. Dalam beberapa jam ke depan operasi ini akan membawa hasil penuh.”
Sebelum peristiwa penyerbuan tentara Inggris dan sekutunya itu, sebenarnya Syekh telah mengambil ancang-ancang menghadapi segala kemungkinan yang akan terjadi dengan melatih para petani dan masyarakat untuk memegang senjata di dataran tinggi Junein. Namun sebelum revolusi sempat dikobarkan, Inggris dan Yahudi lebih dulu menyapu mereka dengan memperalat tentara Arab dan Palestina..
Syekh Al-Qossam bersama para sahabatnya bisa saja meloloskan diri, namun pantang baginya melarikan diri dari medan pertempuran. Pada waktu itu pasukannya berada pada tempat yang tidak menguntungkan untuk mengadakan perlawanan. Saat itu pasukannya berada di dataran rendah sedangkan musuh berada di balik perbukitan.
Inggris yang licik berhasil memperalat badan keamanan Arab Palestina untuk melancarkan aksinya membungkam perlawanan Syekh dengan meletakkan mereka di 3 barisan pertama. Siasat licik ini dijalankan setelah sebelumnya Inggris menuduh Izzuddin dan lainnya adalah perampok yang selalu membajak pedagang yang sering melewati kawasan tersebut.
Sebelum perlawanan dimulai, Syekh mengingatkan agar jangan melukai pasukan Arab karena mereka cuma diperalat dan tidak tahu apa-apa. Lalu ia mengumandangkan syiar: “Hadzaa jihadun fi sabilillah wal wathon, wa man kaana hadza jihaduhu la yastaslim lighoirillah” dan menyerukan: “muutuu syuhada’….!”
Penyerbuan atau lebih tepat sebagai pembantaian itu dimulai pukul 05.30 pagi dan berlangsung selama 4,5 jam. Setelah melakukan perlawanan keras, akhirnya Al-Qassam, Yusuf Al-Zaibari, Muhammad hanafi Al-Misri menemui Syahadah dan 4 orang tertangkap yaitu Arobi Badawi, Muhammad Yusuf, Ahmad Jabir, Hasan Al-Bari dan 2 orang tertangkap karena terluka, Namar bin As- Sa’adi dan As’ad Al-Muflih.
Mendung menyelimuti Haifa, mengiringi kepergian sang mujahid sejati yang dikenal sangat peduli dengan rakyat kecil. Jasadnya dimakamkan di kampung halamannya dekat Haifa.
Muhammad Izzuddin bin Abdul Qodir Mushthofa Al-Qosam, lahir di daerah pegunungan Qadha Al-Ladziqiyyah, Syria pada tahun 1882. Belajar di Al-Azhar dan ketika kembali di kampung halaman, ia langsung terjun ke medan da’wah. Ia sangat lihai berpidato. Kelihaiannya itu ia manfaatkan untuk mendakwahkan Islam kepada orang banyak. Sampai akhirnya menjadi khatib tetap di Masjid Raya Al-Manshur, Jabalah.
Keindahan gaya bahasa yang digunakannya sangat menyentuh hati para hadirin. Muhadharahnya disenangi dan ditunggu-tunggu oleh kaum muslimin. Kepiawaiannya memilih kata-kata bisa membangkitkan kesadaran hadirin untuk kembali berpegang teguh dengan ajaran agama Islam.
Ia selalu menekankan sifat tawadhu’, akhlak mulia, kecerdasan berinteraksi, istiqomah, pengendalian diri, meluaskan cara pandang, zuhud, sederhana, ikhlas serta siap berkorban tenaga, waktu dan istirahat demi Islam dalam setiap muhadharah yang disampaikannya. Hal-hal yang didakwahkannya ini senantiasa diusahakan agar dapat teraplikasi dalam keseharian dan benar-benar menjadi qudwah yang dicintai masyarakatnya.
Satu hal yang tak pernah lepas dari kehidupannya adalah kepeduliannya terhadap orang miskin dan dhuafa. Para petani diziarahinya sampai ke ladang-ladang tempat mereka bekerja. Para buruh tak lupa disapa dan diajaknya berbincang walaupun hanya sebentar. Ia tak segan-segan menemani mereka di meja makan atau membantu menyelesaikan pekerjaan mereka sekalipun hanya sesaat.
Menjalin ukhuwah dan gemar bermu’ayasah (berinteraksi di tengah-tengah masyarakat) benar-benar dihayati dan diterapkan dalam kehidupannya. Karena melalui jalan inilah seorang da’i mengerti dan memahami kebutuhan masyarakat yang sebenarnya. Inilah salah satu kunci keberhasilan Syekh Izzuddin dalam da’wahnya mengenalkan Islam kepada masyarakat di sekitarnya yang patut diteladani.
Beliau juga adalah salah seorang pemimpin gerakan revolusi Syria saat melawan Prancis antara 1918-1920, dan pindah ke Palestina setelah revolusi berakhir dan tinggal di Haifa.
Al-Syekh dikenal juga sebagai seorang pemberani. Beliaulah ulama yang paling banyak bersentuhan dengan jihad, suatu hari ia berkata di atas mimbar “Saya melihat seorang pemuda membawa sapu untuk menyapu jalan dan ia di tuduh membawa senapan, dan saya melihat seorang membawa sikat untuk menyemir sepatu dan ia di tuduh membawa pistol untuk membunuh orang asing”.
Tahun 1925 Al-Syekh mulai mendirikan gerakan jihad yang diyakininya sebagai satu-satunya sarana untuk membebaskan Palestina. Amil Al Ghouri berpendapat bahwa, “Gerakan ini merupakan gerakan yang paling berbahaya dalam sejarah gerakan perlawanan bangsa Palestina, bahkan sejarah arab secara keseluruhan.” Gerakan ini mendapat sebutan Organisasi jihad (Al Munazhamah Al-Jjihadiyyah). Tetapi sepeninggal Al-Qassam organisasi ini lebih terkenal dengan sebutan “Jamaah Al-Qassam atau Al-Qassamiyyun” dan slogan dari jihad mereka adalah: ini adalah jihad kemenangan atau mati syahid.
Jamaah ini tidak menerima keanggotaan kecuali setelah disaring dengat sangat ketat. Dan tidak menjadi anggota Jamaah kecuali sebagai seorang mukmin yang siap untuk mati demi membela tanah airnya yaitu seorang yang beragama dan berakidah yang benar.
Al-Qassam diangkat menjadi imam masjid Al-Istiqlal di Haifa, hal ini semakin memperkokoh kedekatannya untuk berhubungan langsung dengan masyarakat dan mencari unsur-unsur pendukung dalam masyarakat. Pada kesempatan yang sama beliau ditunjuk menjadi ketua organisasi pemuda muslim di Haifa. Maka gerakannya semakin meluas ke daerah-daerah dengan mendirikan cabang-cabang bagi organisasi yang pada akhirnya menjadi tempat berlindung bagi anggota-anggota jamaah Al-Qassam di daerah masing-masing.
Kepemimpinan jamaah ini baru tebentuk pada tahun 1928, dan diantara pendukungnya adalah Al Abdu’a, Mahmud Za’rurah, Muhammah Al-Shalih, Khalil Muhammad Isa. Dan pusat pergerakan ini adalah di Haifa. Dan ketua jamaah bertanggung jawab untuk mengatur dan menentukan kebijakan dan keputusan yang penting. Pada tahun 1935 jumlah anggota ini telah mencapai 200 orang yang kebanyakan adalah para juru dakwah yang memilik basis sampai 800 orang.
Gerakan ini terbagi menjadi lima bidang yaitu; bidang pembelian senjata, bidang pelatihan, bidang mata-mata kepada Yahudi dan Inggris ( kebanyakan dari anggotanya adalah mereka yang berada di militer dan birokrasi), bidang propaganda revolusi dan hubungan politik. Pendanaan diambil dari anggota dan para donatur,
Diantara metodenya adalah setiap anggota wajib belajar menggunakan senjata, dan siap untuk melakukan peperangan dalam kondisi apapun di saat telah di umumkan jihad, setiap anggota wajib mempersiapkan sendiri perbekalan dan persenjataannya. Walau mereka kesulitan dan tidak mampu mempersiapkan itu, namun banyak diantara mereka yang rela tidak makan demi untuk membeli senjata dan demi persiapan perang itu sendiri.
Fase perpindahan kepada perlawanan bersenjata, pada akhir tahun 1928, pada bulan agustus 1929 tejadi revolusi kilat (Al-Barraq) sebagai langkah permulaan untuk menguatkan mentalitas para anggota, dan yang bertindak sebagai Pemimpin adalah Al-Qassam sendiri. Ketika genderang perang ditabuh pada tahun 1935 menurut Subhi Shalih –salah seorang anggota-Al- Qassam telah memiliki 1000 pucuk senjata dan basis pertahanan di Al-Ladziqiyyah.
Meskipun Jamaah ini baru mengumumkan perang pada tahun terakhir, tetapi ia telah melakukan berbagai penyerangan-penyerangan antara 1930-1932 sebagai sarana untuk menghilangkan rasa takut dalam diri anggota, mengadakan presure atas pemerintah Arab, Inggris dan Yahudi.
Pada bulan november 1935 Jamaah Al-Qassam ‘Al-Jihadiyyah’ mengumumkan perang! Dan pada akhir bulan oktober, setelah beliau menjual rumahnya di Haifa, kemudian diikuti oleh beberapa anggota yang lain menjual perhiasan milik istrinya, dan menjual sebagian perabot rumah tangga mereka untuk mendapatkan persenjataaan.
Al-Qassam telah mempelopori munculnya revolusi besar 1936-1939. di daeran Nur Al Syams 15 april 1936 yang dipimpin oleh Al Syekh Farhan As-Sa’adi. Sebagaimana mereka juga mempelopori timbulnya gerakan perlawanan 26 september 1937 dengan terbunuhnya seorang gubernur Inggris untuk wilayah Al Jalil “Andrus”.
Lagi-lagi Al-Qassam memiliki andil dalam mengatur dan memimpin revolusi (tiga dari enam pemimpinnya berasal dar Al-Qassam) yang di pilih pada 2 september 1936 dengan Fauzy Al-Qawqaji sebagai pemimpin umum yang berlangsung sampai berakhirnya revolusi 12 oktober 1936.
Di wilayah selatan Palestina yang menjadi pemimpin adalah Abu Ibrahim Al Kabir Al-Qassami, dan kebanyakan dari para pemimpin di daerah ini adalah anggota Al-Qassam (Abu Muhammad al Shofuri, Sulaiman Abdul Jabbar, Abdullah Al Asbah, Taufik Ibrahim, abdullah Al Syair). Di daerah Nablus bendera diusung oleh empat pemimpin, dua diantaranya anggota Al-Qassam, dan masik banyak lagi di tempat-tempat lain. Secara umum Al-Qassam memiliki peran yang sangat strategis dalam revolusi Palestina baik sebagai pemimpin, prajurit, pengambil kebijakan dan strategi perang.
Ketika diumumkan perang besar 1947-1948, tampillah pasukan Al-Qassam di bawah kepemimpinan Al-Hajj Amin Al-Husain sebagai panglima jihad suci (Jihad Al Muqaddass) bersama tentara penyelamat yang dipimpin oleh Fauzi Al-Qawqaji. Di wilayah selatan mereka tetap ikut ambil bagian dalam pertempuran-pertempuran meskipun bukan dari unsur mereka yang menjadi pemimpin. Dan mereka tetap berjihad mengikuti pemimpin tertinggi tersebut.
Al-Qossam hanyalah sebatang busur, dan para sahabatnya laksana anak panah yang meluncur. Sang Pemanah Maha Tahu sasaran bidikan keabadian. Direntangkan-Nya busur itu dengan kekuasaan-Nya hingga anak panah itu melesat jauh dan cepat. Meliuk dalam suka cita rentangan tangan Sang Pemanah. Sang Pemanah mengasihi anak panah yang melesat laksana kilat, sebagaimana pula dikasihi-Nya busur yang mantap.
Keteladanan yang bisa ditiru dari perjuangan beliau adalah keikhlasan, pengorbanan dan senantiasa menebarkan kehangatan dengan orang-orang di sekitarnya. Sifat-sifat ini sangat membantu kesuksesan dalam medan da’wah, jalan yang ditempuh oleh para Nabi utusan Allah. Al-Qossam dan para sahabatnya telah menjadi penghuni rumah masa depan yang kini tengah dinikmatinya. Al-Qossam telah menjadi milik zaman dan sejarahnya. Birruuh…biddaam…nafdika ya Islam… !!!
Subscribe to:
Posts (Atom)