DOA BUAT MU AHLI GHAZZAH

Wanita

Photobucket

YA ALLAH YA RAHMAN YA RAHIM.....

Tuesday, December 30, 2008

DAN BINASALAH YAHUDI.....


(Nubuwat[1] Kehancuran Bangsa Biadab Yahudi Menurut al-Qur’an dan as-Sunnah yang Shahih)



Wahai putera-putera kera dan babi...

Para pembunuh Rasul Alloh dan para Nabi...

Dirikanlah terus dan bangunlah kehancuranmu di tanah muqoddas

Kau jemput kebinasaanmu dengan hujaman lemparan batu cadas

Tinggikanlah bangunanmu sesuka hatimu

Sesungguhnya kehancuranmu akan menimpamu

Tidak lama lagi waktumu akan tiba untuk merana

Dan ketetapan Alloh pastilah terlaksana



Untuk saudara-saudaraku yang terbakar oleh kemarahan karena Alloh

Melihat saudara-saudara muslimin yang dibantai di bumi Alloh

Oleh bangsa keturunan kera dan babi yang dilaknat oleh Alloh

Bersabarlah... karena sesungguhnya kemenangan itu ada di tangan Alloh

Yang akan diberikan-Nya kepada hamba-hamba-Nya yang berjuang di jalan Alloh





Nubuwat al-Qur’an tentang kebinasaan Bangsa Yahudi



Wahai saudara-saudaraku kaum muslimin yang dimuliakan Alloh...

Berbesar hatilah, karena Alloh Azza wa Jalla berfirman (yang artinya) : “Dan Telah kami tetapkan terhadap Bani Israil dalam Kitab itu: "Sesungguhnya kamu akan membuat kerusakan di muka bumi Ini dua kali dan pasti kamu akan menyombongkan diri dengan kesombongan yang besar". Maka apabila datang saat hukuman bagi (kejahatan) pertama dari kedua (kejahatan) itu, kami datangkan kepadamu hamba-hamba kami yang mempunyai kekuatan yang besar, lalu mereka merajalela di kampung-kampung, dan Itulah ketetapan yang pasti terlaksana. Kemudian kami berikan kepadamu giliran untuk mengalahkan mereka kembali dan kami membantumu dengan harta kekayaan dan anak-anak dan kami jadikan kamu kelompok yang lebih besar. Jika kamu berbuat baik (berarti) kamu berbuat baik bagi dirimu sendiri dan jika kamu berbuat jahat, Maka (kejahatan) itu bagi dirimu sendiri, dan apabila datang saat hukuman bagi (kejahatan) yang kedua, (Kami datangkan orang-orang lain) untuk menyuramkan muka-muka kamu dan mereka masuk ke dalam mesjid, sebagaimana musuh-musuhmu memasukinya pada kali pertama dan untuk membinasakan sehabis-habisnya apa saja yang mereka kuasai. Mudah-mudahan Tuhanmu akan melimpahkan rahmat(Nya) kepadamu; dan sekiranya kamu kembali kepada (kedurhakaan) niscaya kami kembali (mengazabmu) dan kami jadikan neraka Jahannam penjara bagi orang-orang yang tidak beriman.” (QS al-Israa’ : 4-8)

Berkata Syaikhuna Salim bin ‘Ied al-Hilaly Hafizhahullahu wa Nafa’allahu bihi mengenai ayat ini :

Pertama : Ayat ini menegaskan terjadinya dua kerusakan yang dilakukan oleh Bani Israil. Sekiranya dua kerusakan yang dimaksud sudah terjadi pada masa lampau, maka sejarah telah mencatat bahwa Bani Israil telah berbuat kerusakan berkali-kali, bukan hanya dua kali saja. Akan tetapi yang dimaksudkan di dalam Al-Qur’an ini merupakan puncak kerusakan yang mereka lakukan. Oleh karena itulah Alloh mengirim kepada mereka hamba-hamba-Nya yang akan menimpakan azab yang sangat pedih kepada mereka.

Kedua : Dalam sejarah tidak disebutkan kemenangan kembali Bani Israil atas orang-orang yang menguasai mereka terdahulu. Sedangkan ayat di atas menjelaskan bahwa Bani Israil akan mendapatkan giliran mengalahkan musuh-musuh yang telah menimpakan azab saat mereka berbuat kerusakan yang pertama. Alloh mengatakan : “Kemudian kami berikan kepadamu giliran untuk mengalahkan mereka kembali.”

Ketiga : Sekiranya yang dimaksudkan dengan dua kerusakan itu adalah sesuatu yang telah terjadi, tentulah tidak akan diberitakan dengan lafazh idza, sebab lafazh tersebut mengandung makna zharfiyah (keterangan waktu) dan syarthiyah (syarat) untuk masa mendatang, bukan masa yang telah lalu. Sekiranya kedua kerusakan itu terjadi di masa lampau, tentulah lafazh yang digunakan adalah lamma bukan idza. Juga kata latufsidunna (Sesungguhnya kamu akan membuat kerusakan), huruf laam dan nuun berfungsi sebagai ta’kid (penegasan) pada masa mendatang.

Keempat : Demikian pula firman Alloh : “dan Itulah ketetapan yang pasti terlaksana” menunjukkan sesuatu yang terjadi pada masa mendatang. Sebab tidaklah disebut janji kecuali untuk sesuatu yang belum terlaksana.

Kelima : Para penguasa dan bangsa-bangsa yang menaklukan Bani Israil dahulu adalah orang-orang kafir dan penyembah berhala. Namun bukankah Alloh Subhanahu wa Ta’ala telah mengatakan dalam ayat di atas : “kami datangkan kepadamu hamba-hamba kami yang mempunyai kekuatan yang besar”. Sifat tersebut mengisyaratkan bahwa mereka itu adalah orang-orang yang beriman, bukan orang-orang musyrik atau penyembah berhala. Pernyertaan kata “kami” dalam kalimat di atas sebagai bentuk tasyrif (penghormatan). Sementara kehormatan dan kemuliaan itu hanyalah milik orang-orang yang beriman.

Keenam : Dalam aksi pengerusakan kedua yang dilakukan oleh Bani Israil terdapat aksi penghancuran bangunan-bangunan yang menjulang tinggi (gedung pencakar langit). Sejarah tidak menyebutkan bahwa pada zaman dahulu Bani Israil memiliki bangunan-bangunan tersebut.

Kesimpulan : Hakikat dan analisa ayat-ayat di atas menegaskan bahwa dua aksi pengerusakan yang dilakukan oleh Bani Israil akan terjadi setelah turunnya surat al-Israa’ di atas.

Realita : Sekarang ini bangsa Yahudi memiliki daulah di Baitul Maqdis. Mereka banyak berbuat kerusakan di muka bumi. Mereka membunuhi kaum wanita, orang tua, anak-anak yang tidak mampu apa-apa dan tidak dapat melarikan diri. Mereka membakar tempat isra’ Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam dan merobek-robek kitabullah. Mereka melakukan kejahatan di mana-mana hingga mencapai puncaknya. Mereka menyebarkan kenistaan, kemaksiatan, kehinaan, pertumpahan darah, pelecehan kehormatan kaum muslimin, penyiksaan dan pelanggaran perjanjian.

Jadi, aksi pengerusakan yang kedua sedang berlangsung sekarang dan telah mencapai titik klimaks dan telah mencapai puncaknya. Sebab tidak ada lagi aksi pengerusakan yang lebih keji daripada yang berlangsung sekarang.

Adakah aksi yang lebih keji daripada membakar rumah Alloh?

Adakah aksi pengerusakan yang lebih jahat daripada merobek-robek kitabullah dan menginjak-injaknya?

Adakah aksi pengerusakan yang lebih sadis daripada membunuhi anak-anak, orang tua dan kaum wanita serta mematahkan tulang mereka dengan bebatuan?

Adakah aksi pengerusakan yang lebih besar daripada pernyataan perang secara terang-terangan siang dan malam melawan Islam dan para juru dakwahnya?

Sungguh demi Alloh, itu semua merupakan aksi pengerusakan yang tiada tara!!!

Lalu Alloh Azza wa Jalla melanjutkan firman-Nya : “dan untuk membinasakan sehabis-habisnya apa saja yang mereka kuasai”.

Artinya, hamba-hamba Alloh kelak akan meruntuhkan apa saja yang dibangun dan dikuasai oleh bangsa Yahudi. Mereka akan menggoyang benteng Yahudi dan meluluhlantakkan serta meratakannya dengan tanah. Sebelumnya, tidak pernah disaksikan bangunan-bangunan menjulang tinggi di tanah Palestina kecuali pada masa kekuasaan Zionis sekarang ini. Gedung-gedung pencakar langit dan rumah-rumah pemukiman dibangun di setiap jengkal tanah Palestina yang diberkahi.

Kami katakan kepada mereka : Dirikanlah terus wahai anak keturunan Zionis, tinggikan bangunan sesukamu! Sesungguhnya kehancuran kalian di situ dengan izin Alloh. Dan tak lama lagi kalian akan luluh lantah dan tertimpa bangunan kalian itu! Dan Alloh takkan memungkiri janjinya : “dan Itulah ketetapan yang pasti terlaksana”.

Penguasaan Masjidil Aqsha tidak disebutkan pada kali yang pertama dan disebutkan pada kali yang kedua. Sebab penguasaan Masjidil Aqsha oleh kaum muslimin akan berakhir. Kalaulah belum berakhir berarti penguasaan yang kedua merupakan lanjutan dari yang pertama. Akan tetapi berhubung penguasaan Masjidil Aqsha yang pertama akan berakhir, maka penguasaan untuk yang kedua kalinya merupakan peristiwa baru. Dan itulah realita yang terjadi! Penguasaan pertama telah berakhir sesudah bangsa Yahudi menguasai al-Quds serta beberapa wilayah tanah Palestina lainnya dalam satu serangan yang sangat sporadis pada tahun 1967, orang-orang menyebutnya tahun kekalahan. Sebelumnya pada tahun 1948 mereka sebut dengan tahun kemalangan.

Penguasaan yang pertama berakhir disebutkan karena adanya faktor penghalang yang menghalangi kaum muslimin untuk menguasainya. Penghalang itu merupakan musuh bagi Islam dan kaum muslimin. Dan cukuplah Yahudi sebagai musuh bebuyutan yang sangat menentang Islam, kaum muslimin dan para pembela Islam.

Maka kita harus membebaskan tanah kita yang dirampas dan membuat perhitungan dengan mereka serta menyalakan api kebencian terhadap mereka!!! Sudah tergambar pada wajah mereka tanda-tanda kemalangan dan kehinaan. Kaum muslimin akan kembali menguasai Masjidil Aqsha –insya Alloh- sebagaimana kaum salafus shalih menguasainya pertama kali. Sebab kehancuran kedua yang telah dijanjikan oleh Alloh dalam firman-Nya : “dan apabila datang saat hukuman bagi (kejahatan) yang kedua, (Kami datangkan orang-orang lain) untuk menyuramkan muka-muka kamu dan mereka masuk ke dalam mesjid, sebagaimana musuh-musuhmu memasukinya pada kali pertama”.

Kita sedang menanti peristiwa itu sebagai kebenaran janji Alloh dan kebenaran berita-berita Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam. Pada hari itu kaum muslimin bergembira dengan pertolongan dari Alloh Azza wa Jalla.[2]





Nubuwat as-Sunnah ash-Shahihah tentang Kebinasaan Bangsa Yahudi



Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam telah mengabarkan bahwa kaum muslimin akan berperang melawan bangsa Yahudi, beliau Shallallahu ‘alaihi wa Salam bersabda :

“Tidak akan tiba hari kiamat sehingga kaum muslimin berperang melawan Yahudi. Sampai-sampai apabila orang Yahudi bersembunyi di balik pepohonan atau bebatuan, maka pohon dan batu itu akan berseru, ‘wahai Muslim, wahai hamba Alloh, ini orang Yahudi ada bersembunyi di balikku, kemarilah dan bunuhlah ia.’ Kecuali pohon Ghorqod, karena ia adalah pohon Yahudi.” (Muttafaq ‘alaihi dari Abu Hurairoh radhiyallahu ‘anhu).

Diriwayatkan oleh Syaikhaini (Bukhari dan Muslim) dari Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam bersabda : “Kalian benar-benar akan membunuhi kaum Yahudi, sampai-sampai mereka bersembunyi di balik batu, maka batu itupun berkata, ‘wahai hamba Alloh, ini ada Yahudi di belakangku, bunuhlah dia!’.”

Hadits-hadits di atas menunjukkan bahwa :

Pertama : Akan datang masa sebelum datangnya hari kiamat bahwa kaum muslimin dan bangsa Yahudi akan mengalami peperangan besar dan ini adalah suatu hal yang pasti akan terjadi.

Kedua : Bangsa Yahudi akan dibantai oleh kaum muslimin, dan hal ini terjadinya di bumi Palestina, dan saat itu seluruh pepohonan dan bebatuan yang dijadikan tempat persembunyian bangsa Yahudi akan berseru memanggil kaum muslimin untuk membunuh mereka, kecuali pohon Ghorqod.

Ketiga : Hal ini menunjukkan bahwa kemenangan berada di tangan Islam dan kehinaan akan meliputi bangsa Yahudi yang terlaknat dan terkutuk.

Keempat : Berkaitan dengan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam yang diriwayatkan oleh Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma di atas, dimana Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam bersabda “latuqootilunna” (Kalian benar-benar akan membunuhi kaum Yahudi) yang disertai dengan lam dan nun sebagai ta’kid (penegasan) akan kepastian hal ini. Khithab (seruan) Nabi ini adalah kepada para sahabat, hal ini menunjukkan secara sharih bahwa masa depan adalah milik Islam saja –biidznillahi-, namun haruslah dengan metode para sahabat Nabi dan kaum salaf yang shalih.

Kelima : Berkaitan dengan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam yang diriwayatkan oleh Abu Hurairoh radhiyallahu ‘anhu di atas, dimana Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam bersabda tentang seruan batu dan pohon : “Wahai muslim, wahai hamba Alloh...” yang menunjukkan manhaj tarbawi (pendidikan) ishlahi (pembenahan) yang ditegakkan di atas manifestasi tauhid dan al-‘Ubudiyah (penghambaan) yang merupakan cara di dalam menegakkan syariat Islam di muka bumi dan melanggengkan kehidupan Islami berdasarkan manhaj nabawi.[3]





Tha`ifah al-Manshurah adalah Pembebas Negeri Syam al-Muqoddasah



Alloh Subhanahu wa Ta’ala telah memberkahi negeri Syam di dalam kitab-Nya al-Majid (yang terpuji) di dalam 5 ayat, sebagai berikut :

“Dan kami selamatkan Ibrahim dan Luth ke sebuah negeri yang kami Telah memberkahinya untuk sekalian manusia.” (QS al-Anbiyaa’ : 71)

“Dan (telah kami tundukkan) untuk Sulaiman angin yang sangat kencang tiupannya yang berhembus dengan perintahnya ke negeri yang kami Telah memberkatinya. dan adalah kami Maha mengetahui segala sesuatu.” (QS al-Anbiyaa’ : 81)

“Dan kami pusakakan kepada kaum yang telah ditindas itu, negeri-negeri bahagian timur bumi dan bahagian baratnya yang Telah kami beri berkah padanya. dan Telah sempurnalah perkataan Tuhanmu yang baik (sebagai janji) untuk Bani Israil disebabkan kesabaran mereka. dan kami hancurkan apa yang Telah dibuat Fir'aun dan kaumnya dan apa yang Telah dibangun mereka.” (QS al-A’raaf : 137)

“Dan kami jadikan antara mereka dan antara negeri-negeri yang kami limpahkan berkat kepadanya, beberapa negeri yang berdekatan dan kami tetapkan antara negeri-negeri itu (jarak-jarak) perjalanan. berjalanlah kamu di kota-kota itu pada malam hari dan siang hari dengan dengan aman.” (QS Sabaa` : 18)

“Maha Suci Allah, yang Telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang Telah kami berkahi sekelilingnya.” (QS al-Israa` : 1)

Seluruh ayat di atas menunjukkan akan keutamaan dan keberkahan negeri Syam, tidak diketahui adanya perselisihan para ulama tafsir tentangnya. Negeri Syam adalah negeri yang memiliki fadhilah (keutamaan) dibandingkan negeri-negeri lainnya. Di negeri inilah risalah-risalah kenabian banyak diturunkan, para rasul banyak diutus dan menjadi tempat hijrah para Nabi Alloh. Di dalamnya terdapat kiblat pertama kaum muslimin, di-isra`kannya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam. Di dalamnya Dajjal akan binasa di tangan al-Masih ‘alaihi Salam, demikian pula Ya’juj dan Ma’juj serta bangsa Yahudi akan binasa.

Namun negeri ini kini terampas dan terjajah, dirampas dan dijajah oleh bangsa terburuk di muka bumi ini. Namun penjajahan mereka atas bumi Palestina dan Syam adalah penggalian kuburan bagi mereka sendiri. Karena Nabi yang mulia telah memilih negeri ini sebagai bangkitnya ath-Tha`ifah al-Manshurah (golongan yang mendapat pertolongan) yang akan membinasakan bangsa Yahudi dan membebaskan negeri Syam dari kekuasaan mereka serta menegakkan Islam sebagai agama yang haq.

Berikut ini adalah hadits-hadits yang menjelaskannya yang diuraikan oleh Syaikh Abu Usamah Salim bin Ied al-Hilali :

Pertama : Hadits ‘Imran bin Hushain radhiyallahu ‘anhu : “Akan senantiasa ada segolongan dari umatku, yang berperang di atas kebenaran, yang menampakkan (kebenaran) terhadap orang-orang yang mencela mereka, hingga terbunuhnya orang yang terakhir dari mereka, yaitu al-Masih ad-Dajjal.” (HR Abu Dawud : 2484; Ahmad : IV/329 dan IV/343; ad-Daulabi dalam al-Kuna : II/8; al-Lalika`i dalam Syarh I’tiqod ‘Ushulis Sunnah no. 169; dan al-Hakim : IV/450; dari jalan Hammad bin Salamah, meriwayatkan dari Qotadah, dari Mutharif).

Al-Hakim berkata : “Shahih menurut syarat Muslim” dan Imam adz-Dzahabi menyepakatinya. Syaikh Salim berkata : “Hadits ini sebagaimana yang dikatakan oleh al-Hakim”.

Dan menyertai (tabi’) riwayat ini adalah riwayat dari Abul ‘Alaa` bin asy-Syakhir dari saudaranya Mutharif, dikeluarkan oleh Ahmad (IV/434), dan Syaikh Salim berkomentar : “isnadnya shahih menurut syarat imam yang enam.”

Kedua : Hadits Salamah bin Nufail radhiyallahu ‘anhu : “Saat ini akan tiba masa berperang, akan senantiasa ada segolongan dari umatku yang menampakkan (kebenaran) di hadapan manusia, Alloh mengangkat hati-hati suatu kaum, mereka akan memeranginya dan Alloh Azza wa Jalla menganugerahkan kepada mereka (kemenangan), dan mereka tetap dalam keadaan demikian, ketahuilah bahwa pusat negeri kaum mukminin itu berada di Syam, dan ikatan tali itu tertambat di punuk kebaikan hingga datangnya hari kiamat.” (HR Ahmad : IV/104; an-Nasa`i : VI/214-215; Ibnu Hibban : 1617-Mawarid; al-Bazzar dalam Kasyful Astaar : 1419; dari jalan al-Walid bin Abdurrahman al-Jarsyi dari Jabir bin Nufair.)

Syaikh Salim berkata : “Dan isnad ini shahih menurut syarat Muslim.”

Ketiga : Hadits Qurroh radhiyallahu ‘anhu : “Apabila penduduk negeri Syam telah rusak, maka tidak ada lagi kebaikan bagi kalian. Akan senantiasa ada segolongan dari umatku yang mendapatkan pertolongan, tidaklah membahayakan mereka orang-orang yang menyelisihi mereka hingga datangnya hari kiamat.” (HR at-Tirmidzi : 2192; Ahmad : V/34; al-Lalika`i : 172; Ibnu Hibban : 61; al-Hakim di dalam Ma’rifatu ‘Ulumul Hadits hal. 2; dari jalan Syu’bah bin Mu’awiyah bin Qurroh, dari ayahnya secara marfu’)

Imam at-Tirmidzi berkata : “hadits hasan shahih.” Syaikh Salim berkomentar : “Hadits ini shahih menurut syarat Syaikhaini (Bukhari dan Muslim).”

Keempat : Hadits Sa’ad bin Abi Waqqosh radhiyallahu ‘anhu yang memiliki dua lafazh yang berbeda, yaitu :

* Pertama : Beliau berkata, bersabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam : “Akan senantiasa ada segolongan dari umatku yang menampakkan (diri) di atas kebenaran, yang senantiasa perkasa hingga hari kiamat.” (HR al-Lalika`i di dalam Syarh Ushul I’tiqod Ahlis Sunnah wal Jama’ah : 170).
* Kedua : Beliau berkata, bersabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam : “Akan senantiasa penduduk Maghrib (barat) menampakkan kebenaran hingga datangnya hari kiamat.” (HR Muslim : XIII/68-Nawawi; Abu Nu’aim di dalam al-Hilyah : III/95-96; as-Sahmi di dalam Tarikh Jurjaan : 467; dan selainnya dari jalan Abu Utsman al-Hindi).

Syaikh Salim berkomentar : “Iya, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam telah menjelaskan negeri al-Firqoh an-Najiyah dengan penjelasan yang terang yang tidak ada lagi keraguan padanya, dan beliau mengabarkan bahwa negeri itu adalah Syam yang diberkahi dan penuh kebaikan.”

Dan penjelasan Syaikh Salim al-Hilali di sini ditopang oleh penjelasan berikut :

* Hadits Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu yang diriwayatkan oleh ‘Umair dari Malik bin Yakhomir, Mu’adz berkata : “Dan mereka ini (ath-Tha`ifah al-Manshurah) berada di Syam.” Dan ucapan ini dihukumi marfu’ karena tidaklah diucapkan dengan ra’yu (pendapat) dan ijtihad.
* Hadits Sa’ad di atas : “Akan senantiasa penduduk Maghrib (barat) menampakkan kebenaran hingga datangnya hari kiamat.” Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu menukil dalam kitabnya Manaqib asy-Syam wa Ahluhu (hal. 72-77) ucapan Imam Ahmad bin Hanbal : “Penduduk Maghrib, mereka adalah penduduk Syam.”

Syaikh Salim mengomentari : “Saya sepakat dengan dua alasan : Pertama adalah, bahwa seluruh hadits-hadits di atas menjelaskan bahwa mereka adalah penduduk Syam. Kedua, bahasa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam dan penduduk Madinah tentang “penduduk Maghrib (barat)” maksudnya adalah penduduk Syam, karena mereka (penduduk Maghrib) berada di barat mereka (Rasulullah dan para sahabatnya), sebagaimana bahasa mereka tentang “penduduk Masyriq (timur)” adalah penduduk Nejed dan Irak. Karena Maghrib (barat) dan Masyriq (timur) adalah perkara yang nisbi (relatif). Seluruh negeri yang memiliki barat maka bisa jadi merupakan bagian timur bagi negeri lainnya dan sebaliknya. Dan yang menjadi pertimbangan di dalam ucapan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam ini tentang barat dan timur adalah tempat beliau mengucapkan hadits ini, yaitu Madinah.”

Kesimpulan : Negeri Syam adalah negeri ath-Tha`ifah al-Manshurah yang akan menampakkan kebenaran, tidaklah akan membahayakan mereka orang-orang yang menyelisihi dan mencela mereka, mereka akan mendapatkan kemenangan dari Alloh dan mereka tetap dalam keadaan demikian sampai datangnya hari kiamat. Ath-Tha’ifah al-Manshurah inilah yang akan memenangkan Islam dan membebaskan negeri Syam dari belenggu penjajahan bangsa Yahudi yang terlaknat, dan merekalah yang akan membinasakan bangsa Yahudi terlaknat ini.[4]





Seruan Al-‘Allamah Ibnu Baz rahimahullahu wa Qoddasallahu Ruuhahu Kepada Kaum Muslimin Tentang Permusuhan Yahudi



Peperangan Islam

Wahai kaum muslimin di segala penjuru... wahai orang-orang Arab di seluruh tempat... wahai para pemimpin dan penguasa...

Sesungguhnya peperangan yang terjadi antara bangsa Arab dan Yahudi bukanlah peperangan ‘Arabiyah belaka, perhatikanlah! Namun ia merupakan peperangan Islamiyah ‘Arabiyah, peperangan antara kekufuran dan keimanan, antara al-haq dan bathil dan antara kaum muslimin dengan bangsa Yahudi. Permusuhan Yahudi terhadap kaum muslimin di tanah air dan pusat negeri mereka adalah suatu hal yang telah ma’lum (ketahui) dan masyhur. Maka wajib bagi setiap muslim di setiap tempat untuk menolong saudara-saudara mereka yang teraniaya, berdiri di atas barisan mereka dan membantu mereka di dalam mengembalikan hak mereka yang terampas dari kaum yang menganiaya dan menzhalimi mereka, dengan segala kemampuan yang dimiliki : dari jiwa, kehormatan, peralatan dan harta benda. Semuanya menurut kesanggupan dan kemampuan yang dimilikinya, sebagaimana firman Alloh Azza wa Jalla : “jika mereka meminta pertolongan kepadamu dalam (urusan pembelaan) agama, Maka kamu wajib memberikan pertolongan kecuali terhadap kaum yang Telah ada perjanjian antara kamu dengan mereka”[5] dan firman-Nya : “Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari Kemudian, dan mereka tidak mengharamkan apa yang diharamkan oleh Allah dan RasulNya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (yaitu orang-orang) yang diberikan Al-Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk.”[6]

Sikap Yahudi di dalam memusuhi Islam dan Nabinya Islam adalah suatu hal yang ma’lum dan masyhur. Sejarah telah mencatatnya dan para perawi berita sejarah saling menukilkannya. Bahkan, Kitab teragung dan terbenar menjadi saksi atasnya, yaitu Kitabullah yang tidak ada padanya kebatilan di tengah-tengahnya dan tidak pula di belakangnya, yang diturunkan oleh Yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji. Alloh Ta’ala berfirman : “Sesungguhnya kamu dapati orang-orang yang paling keras permusuhannya terhadap orang-orang yang beriman ialah orang-orang Yahudi dan orang-orang musyrik.”[7]. Alloh Azza wa Jalla menegaskan di dalam ayat yang mulia ini bahwa Yahudi dan orang-orang musyrik itu adalah kaum yang paling keras permusuhannya terhadap kaum mukminin...



Kewajiban Bersegera Untuk Berperang Di Jalan Alloh

Wahai sekalian kaum muslimin dari bangsa Arab dan selainnya... bersegeralah kalian untuk memerangi musuh-musuh Alloh dari bangsa Yahudi, dan berjihadlah di jalan Alloh dengan harta dan jiwa kalian, yang demikian ini adalah lebih baik jika kalian mengetahui.

Bersegeralah kalian untuk menjumpai surga yang luasnya seluas langit dan bumi, yang dipersiapkan bagi muttaqin (orang-orang yang bertakwa), mujahidin dan shobirin (orang-orang yang sabar).

Ikhlaskanlah niat hanya untuk Alloh, bersabarlah dan kuatkanlah kesabaran kalian serta bertakwalah kepada Alloh Azza wa Jalla niscaya kalian akan memperoleh kemenangan yang besar atau syahid di jalan kebenaran dalam rangka menumpas kebatilan. Ingatlah selalu dengan apa yang diturunkan Rabb kalian Subhanahu di dalam kitab-Nya yang mubin (jelas) tentang keutamaan mujahidin dan janji Alloh atas mereka berupa derajat yang tinggi dan tempat yang penuh kenikmatan (surga).

Alloh Ta’ala berfirman : “Hai orang-orang yang beriman, sukakah kamu Aku tunjukkan suatu perniagaan yang dapat menyelamatkanmu dari azab yang pedih? (yaitu) kamu beriman kepada Allah dan RasulNya dan berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwamu. Itulah yang lebih baik bagimu, jika kamu Mengetahui. Niscaya Allah akan mengampuni dosa-dosamu dan memasukkanmu ke dalam jannah yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; dan (memasukkan kamu) ke tempat tinggal yang baik di dalam jannah 'Adn. Itulah keberuntungan yang besar. Dan (ada lagi) karunia yang lain yang kamu sukai (yaitu) pertolongan dari Allah dan kemenangan yang dekat (waktunya). dan sampaikanlah berita gembira kepada orang-orang yang beriman.”[8].

Dan firman-Nya Ta’ala : “Berangkatlah kamu baik dalam keadaan merasa ringan maupun berat, dan berjihadlah kamu dengan harta dan dirimu di jalan Allah. yang demikian itu adalah lebih baik bagimu, jika kamu Mengetahui.”[9].

Dan firman-Nya Ta’ala : “Apakah (orang-orang) yang memberi minuman orang-orang yang mengerjakan haji dan mengurus Masjidilharam kamu samakan dengan orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari Kemudian serta bejihad di jalan Allah? mereka tidak sama di sisi Allah; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang zhalim. Orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad di jalan Allah dengan harta, benda dan diri mereka, adalah lebih Tinggi derajatnya di sisi Allah; dan Itulah orang-orang yang mendapat kemenangan. Tuhan mereka menggembirakan mereka dengan memberikan rahmat dari padanya, keridhaan dan surga, mereka memperoleh didalamnya kesenangan yang kekal, Mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang besar.”[10].



Berharap Untuk Berangkat Berjihad

Wahai para mujahidin! Alloh Subhanahu telah menjelaskan di dalam ayat ini keutamaan jihad dan akibatnya yang terpuji bagi orang-orang yang beriman. Yaitu berupa pertolongan dan kemenangan yang dekat -di dunia- beserta surga dan keridhaan dari Alloh Subhanahu serta kedudukan yang tinggi di akhirat.

Ayat yang kedua yaitu yang berbunyi : “Berangkatlah kamu baik dalam keadaan merasa ringan maupun berat” menunjukkan akan kewajiban berangkat untuk berjihad bagi para pemuda dan orang tua apabila diseru, dalam rangka meninggikan kalimat Alloh dan melindungi negeri kaum muslimin serta melawan musuh-musuh mereka. Terlebih lagi apa yang dihasilkan jihad bagi kaum muslimin berupa Izzah, kemuliaan, kebaikan, keagungan, ganjaran yang besar dan tingginya kalimat Alloh serta terpeliharanya keadaan umat, agama dan keamanannya.

Telah datang penjelasan di dalam al-Qur’an al-Karim ayat-ayat yang mulia tentang keutamaan jihad dan dorongan untuk berjihad, dan janji kemenangan bagi orang-orang mukmin dan kehancuran kaum kafir, yang memenuhi hati seorang mukmin dengan semangat, kekuatan, obsesi dan kejujuran untuk turun di medan jihad, keberanian di dalam menyokong al-haq untuk memenuhi janji Alloh, dan keimanan akan pertolongan-Nya, serta harapan akan ganjaran di antara dua kebaikan, yaitu kemenangan dan ghanimah (harta rampasan perang) atau syahid di jalan kebenaran, sebagaimana firman Alloh Azza wa Jalla : “Katakanlah: "Tidak ada yang kamu tunggu-tunggu bagi kami, kecuali salah satu dari dua kebaikan, dan kami menunggu-nunggu bagi kamu bahwa Allah akan menimpakan kepadamu azab (yang besar) dari sisi-Nya. sebab itu tunggulah, Sesungguhnya kami menunggu-nunggu bersamamu.”[11] dan firman-Nya Azza wa Jalla : “Hai orang-orang mukmin, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu.”[12].

Alloh Azza wa Jalla juga berfirman: “Dan kami selalu berkewajiban menolong orang-orang yang beriman”[13] dan firman-Nya Subhanahu wa Ta’ala : “Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa, (yaitu) orang-orang yang jika kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi niscaya mereka mendirikan sholat, menunaikan zakat, menyuruh berbuat ma'ruf dan mencegah dari perbuatan yang mungkar.”[14] dan firman-Nya Ta’ala : “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang, di luar kalanganmu (karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagimu. mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka adalah lebih besar lagi. sungguh Telah kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu memahaminya”[15] sampai dengan firman-Nya : “Jika kamu memperoleh kebaikan, niscaya mereka bersedih hati, tetapi jika kamu mendapat bencana, mereka bergembira karenanya. jika kamu bersabar dan bertakwa, niscaya tipu daya mereka sedikitpun tidak mendatangkan kemudharatan kepadamu. Sesungguhnya Allah mengetahui segala apa yang mereka kerjakan”[16].

Di dalam ayat-ayat ini terdapat at-tashrih (penjelasan yang terang) dari Alloh Azza wa Jalla akan janji-Nya kepada hamba-hamba-Nya berupa pertolongan dari musuh-musuh mereka dan keselamatan dari tipu daya mereka walau sebesar apapun kekuatan mereka dan sebanyak apapun jumlah mereka. Karena sesungguhnya Alloh Azza wa Jalla lebih kuat dari segala kekuatan yang ada dan lebih mengetahui akan akibat dari segala urusan dan Dia berkemampuan atasnya serta Ia Maha Mengetahui seluruh amal-amal mereka.

Akan tetapi Alloh Azza wa Jalla mensyaratkan janji-Nya ini dengan syarat yang besar, yaitu keharusan beriman kepada-Nya, menolong agama-Nya dan beristiqomah di atasnya dengan kesabaran dan kekuatan di dalam bersabar. Barangsiapa yang melaksanakan syarat ini niscaya Alloh akan memenuhi janji-Nya kepada mereka dan Dia adalah jujur di dalam janji-Nya : “Allah Telah berjanji dengan sebenar-benarnya. Allah tidak akan memungkiri janji-Nya.”[17]. Dan barangsiapa yang meremehkan syarat ini, atau tidak mau mengangkat kepalanya (untuk memenuhi syarat ini), maka dia tidaklah menghinakan melainkan dirinya sendiri.

Maka sepatutnyalah bagimu wahai mukmin yang mujahid, untuk banyak-banyak mentadabburi firman Alloh Azza wa Jalla : “Jika kamu bersabar dan bertakwa, niscaya tipu daya mereka sedikitpun tidak mendatangkan kemudharatan kepadamu”[18], karena sesungguhnya di dalam ayat ini –demi Alloh- terdapat suatu kalimat yang agung dan janji yang benar dari Yang Maha Merajai, Maha Berkehendak dan Maha Mulia apabila engkau bersabar di dalam memerangi musuhmu dan berjihad untuk menghinakan mereka dengan tetap menegakkan takwa kepada Alloh Azza wa Jalla, yaitu dengan mengagungkan-Nya Subhanahu, mengikhlaskan (semua amal) hanya untuk-Nya, menta’ati-Nya dan Rasul-Nya serta berhati-hati dari hal-hal yang dilarang-Nya dan Rasul-Nya, maka inilah hakikat takwa. Dan bersabar di dalam jihad an-Nafsi (melawan hawa nafsu) dan terus bersabar di dalam jihad terhadap musuh-musuh (Alloh) adalah merupakan bagian dari takwa itu sendiri...



Keutamaan Para Mujahidin di Sisi Alloh

Bertakwalah kalian kepada Alloh wahai sekalian kaum muslimin dan mujahidin di medan pertempuran dan di mana saja kalian berada... bersabarlah dan kuatkan kesabaran kalian di dalam jihad terhadap jiwa kalian di dalam ketaatan kepada Alloh dan menahan diri dari apa yang diharamkan Alloh, dan jihad terhadap jiwa kalian di dalam memerangi musuh dan menyerang sekutu-sekutu mereka, dan bersabarlah di dalam mengemban kesulitan-kesulitan di tengah medan pertempuran dengan ketenangan di bawah kelebatan pesawat-pesawat tempur dan suara-suara yang memekikkan, dan ingatlah bahwa para salaf kalian yang shalih dari kalangan para Nabi dan Rasul serta para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam –semoga Alloh meridhai mereka semua- serta siapa saja dari para pengikut mereka dari mujahidin yang jujur, pada mereka ada tauladan untuk kalian, dan pada mereka terdapat pelajaran dan ‘ibrah.

Mereka sungguh telah banyak bersabar dan berjihad dalam waktu yang panjang, maka Alloh membukakan atas mereka negeri-negeri dan memberi petunjuk kepada hamba-hamba Alloh melalui perantaraan mereka, Alloh kokohkan mereka di atas bumi dan Alloh anugerahkan kepada mereka kekuasaan dan kepemimpinan dikarenakan keimanan mereka yang agung, keikhlasan mereka kepada pelindung mereka Yang Maha Mulia, kesabaran mereka di dalam medan pertempuran dan mereka lebih mendahulukan Alloh dan negeri akhirat ketimbang dunia dan segala perhiasannya yang menipu.

Sebagaimana firman Alloh Azza wa Jalla di dalam Kitab-Nya yang mulia : “Sesungguhnya Allah Telah membeli dari orang-orang mukmin diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. mereka berperang pada jalan Allah; lalu mereka membunuh atau terbunuh. (Itu Telah menjadi) janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil dan Al Quran. dan siapakah yang lebih menepati janjinya (selain) daripada Allah? Maka bergembiralah dengan jual beli yang Telah kamu lakukan itu, dan Itulah kemenangan yang besar.”[19] dan firman-nya Jalla Sya’nuhu : “Dan kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah kami ketika mereka sabar dan adalah mereka meyakini ayat-ayat kami.”[20].

Dan telah shahih dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam bahwasanya beliau bersabda : “Ribath (berjaga-jaga di perbatasan perang) sehari di jalan Alloh itu lebih mulia daripada dunia dan seisinya, suatu tempat bagian salah seorang diantara kalian di surga itu lebih baik daripada dunia dan seisinya, dan perginya seorang hamba di sore atau pagi hari di jalan Alloh itu lebih baik daripada dunia dan seisinya.”

Dan telah shahih pula dari beliau bahwasanya beliau ditanya : “Amal apakah yang paling utama?”, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam menjawab : “Iman kepada Alloh dan Rasul-Nya.” Beliau ditanya lagi, “Kemudian apa wahai Rasulullah?”, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam menjawab : “Jihad di jalan Alloh.”

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam bersabda : “Perumpamaan seorang mujahid di jalan Alloh –dan Allohlah yang lebih tahu siapakah yang berjihad di jalan-Nya- adalah sebagaimana orang yang berpuasa dengan berdiri, dan Alloh menanggung bagi seorang mujahid di jalan-Nya apabila Ia mewafatkannya maka Ia masukkan dirinya ke dalam surga atau Ia kembalikan ia dalam keadaan selamat dengan pahala dan harta rampasan perang.”

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam bersabda : “Barangsiapa yang mati dan tidak pernah berperang ataupun terbetik di dalam dirinya untuk berperang, maka ia mati di atas cabang kemunafikan.”

Seorang lelaki bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam amalan apakah yang sepadan dengan keutamaan jihad, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam bersabda kepada penanya tadi : “Apakah engkau sanggup apabila seorang mujahid keluar kemudian berpuasa tidak berbuka dan berdiri terus tanpa lelah.” Penanya itu berkata : “Siapakah gerangan yang sanggup melakukan hal itu wahai Rasulullah?”, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam menjawab : “Adapun seandainya engkau pun mampu melaksanakannya, tetaplah tidak mencapai keutamaan mujahidin.”



Iman, Kewaspadaan dan I’dad (Persiapan) Kekuatan yang Disanggupi

Bertakwalah kalian wahai sekalian kaum muslimin, dan jujurlah di dalam berjihad melawan musuh-musuh Alloh dan musuh kalian dari bangsa Yahudi dan sekutu-sekutu mereka. Introspeksilah diri kalian dan bertaubatlah kepada Rabb kalian atas segala hal yang menyelisihi dien Islam dari mabda’ (prinsip), aqidah dan perbuatan. Berbuat jujurlah ketika di medan pertempuran, dan dahulukanlah Alloh dan negeri akhirat. Dan ketahuilah bahwa pertolongan yang nyata dan akibat yang terpuji bukanlah hanya untuk bangsa Arab saja tanpa orang ‘ajam (non Arab), ataupun untuk bangsa ‘ajam saja bukan untuk orang Arab. Juga bukan pula untuk bangsa berkulit putih saja tanpa bangsa kulit hitam dan sebaliknya. Akan tetapi, pertolongan itu dengan izin Alloh adalah milik orang-orang yang bertakwa kepada-Nya dan mengikuti petunjuk-Nya, milik orang yang berjihad melawan nafsunya di jalan Alloh dan orang yang melawan musuh-Nya dengan kekuatan yang disanggupinya. Sebagaimana Pelindung (Maula) mereka memerintahkan hal ini di dalam firman-Nya Azza wa Jalla : “Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi”[21] dan firman-Nya : “Hai orang-orang yang beriman, bersiap siagalah kamu”[22] serta Dia Azza wa Jalla menyeru Rasul yang terpercaya ‘alaihi Afdholu as-Sholati was Salam : “Dan apabila kamu berada di tengah-tengah mereka (sahabatmu) lalu kamu hendak mendirikan shalat bersama-sama mereka, Maka hendaklah segolongan dari mereka berdiri (shalat) besertamu dan menyandang senjata, Kemudian apabila mereka (yang shalat besertamu) sujud (telah menyempurnakan serakaat),, Maka hendaklah mereka pindah dari belakangmu (untuk menghadapi musuh) dan hendaklah datang golongan yang kedua yang belum bersembahyang, lalu bersembahyanglah mereka denganmu, dan hendaklah mereka bersiap siaga dan menyandang senjata. orang-orang kafir ingin supaya kamu lengah terhadap senjatamu dan harta bendamu, lalu mereka menyerbu kamu dengan sekaligus. dan tidak ada dosa atasmu meletakkan senjata-senjatamu, jika kamu mendapat sesuatu kesusahan Karena hujan atau Karena kamu memang sakit; dan siap siagalah kamu. Sesungguhnya Allah Telah menyediakan azab yang menghinakan bagi orang-orang kafir itu”[23].

Renungkanlah wahai saudaraku, perintah Alloh kepada hamba-Nya ini untuk bersiap-siap melawan musuh mereka dengan apa saja yang mereka sanggupi dari kekuatan, kemudian renungkan pula perintah-Nya kepada Nabi-Nya Shallallahu ‘alaihi wa Salam dan kaum mukminin tatkala peperangan melawan musuh berkecamuk dan dekat dengan mereka, supaya mereka tetap menegakkan sholat dan menyandang senjata. Dan bagaimana Alloh Subhanahu mengulang perintahnya untuk memanggul senjata dan tetap waspada supaya musuh mereka tidak menyerang mereka tatkala mereka sedang sholat, agar engkau tahu dengan demikian ini bahwa wajib bagi mujahidin -baik pimpinan maupun prajurit- untuk tetap menaruh perhatian terhadap musuh dan supaya waspada dari kejahatan mereka. Juga supaya mereka bersiap-siap dengan kekuatan apa saja yang mereka sanggupi, dan tetap menegakkan sholat dan menjaganya dengan tetap bersiap siaga di saat sedang melaksanakannya (sholat) tatkala perang berkecamuk dan ketika diperlukan.

Di dalam hal ini, tercakup antara sebab hissiyah (inderawi/materi) dan ma’nawiyah (spirituil), dan ini merupakan kewajiban bagi mujahidin di setiap zaman untuk bersifat dengan akhlak imaniyah, dan beristiqomah di dalam ketaatan kepada Rabb mereka serta meyakini bahwasanya pertolongan berada di tangan-Nya bukan pada selainnya. Dan ini merupakan sebab yang pertama, asas yang kokoh, pokok yang agung, poros berputarnya pertolongan dan asasnya keberhasilan dan kemenangan. Dan ini merupakan sebab ma’nawi yang Alloh mengkhususkan bagi hamba-hamba-Nya yang mukminin yang Alloh bedakan dari lainnya serta Alloh janjikan dengan pertolongan apabila mereka menegakkannya bersama dengan sebab kedua (sebab materi, pent.) sebatas kemampuannya, yaitu persiapan (i’dad) mereka di dalam melawan musuh mereka dengan apa yang mereka sanggupi dari kekuatan dan inayah yang berkaitan dengan peperangan. Dan juga bersabar dan tetap di dalam kesabaran di medan peperangan dengan senantiasa waspada akan tipu daya musuh.

Dengan dua perkara ini (sebab ma’nawi dan hissi/materi, pent.) maka akan terwujudlah pertolongan dari Rabb mereka Azza wa Jalla sebagai keutamaan, kemuliaan, rahmat dan kebaikan dari-Nya serta pemenuhan janji-Nya dan pertolongan terhadap kelompok-Nya.

Sebagaimana firman-Nya Azza wa Jalla : “dan kami selalu berkewajiban menolong orang-orang yang beriman” dan firman-Nya Ta’ala : “jika kamu bersabar dan bertakwa, niscaya tipu daya mereka sedikitpun tidak mendatangkan kemudharatan kepadamu. Sesungguhnya Allah mengetahui segala apa yang mereka kerjakan”.



Menang Atau Syahid

Wahai mujahid! Engkau sesungguhnya sedang berada di peperangan yang dahsyat bersama musuh yang memiliki kedengkian yang luar biasa terhadap Islam dan pemeluknya. Maka mantapkanlah dirimu di dalam berjihad dan bersabarlah serta tetaplah di dalam kesabaran. Ikhlaskanlah amalmu hanya untuk Alloh dan mintalah pertolongan hanya kepada-Nya semata. Dan bergembiralah dengan salah satu dari dua kebaikan apabila engkau benar dengan hal yang demikian ini, yaitu kemenangan, ghanimah dan akibat yang terpuji di dunia dan akhirat, atau syahid, tempat yang penuh kenikmatan, istana yang megah, sungai-sungai yang mengalir dan bidadari yang cantik jelita di negeri yang mulia.

Wahai bangsa Arab, janganlah kau menyangka bahwa pertolongan atas musuhmu terkait karena kearabanmu, namun sesungguhnya pertolongan itu terkait karena keimananmu kepada Alloh, kesabaranmu di medan pertempuran, keistiqomahanmu di dalam kebenaran, taubatmu dari dosa-dosamu yang terdahulu dan keikhlasanmu kepada Alloh pada seluruh amal-amalmu. Maka berisitiqomahlah kamu pada hal ini (keikhlasan) dan berpegangteguhlah dengan Islam yang shahih yang hakikatnya adalah pengikhlasan hanya untuk Alloh, istiqomah di atas syariat-syariat-Nya dan meniti petunjuk Rasul dan Nabi-Nya Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Salam di dalam peperangan, perdamaian ataupun pada seluruh keadaan...[24]





Kunci Mendapatkan Pertolongan dan Kemenangan Dari Musuh Islam



Sungguh umat ini telah ditimpa semenjak lebih dari setengah abad yang lalu oleh bencana yang membinasakan, dan kebanyakan sebab ditimpanya musibah ini adalah dikarenakan lalainya kaum muslimin dari sebab-sebab bencana dan malapetaka ini. Alloh Azza wa Jalla berfirman : “Katakanlah, (musibah) itu adalah dari diri kalian sendiri” dan firman-Nya : “Dan apa saja musibah yang menimpa kamu Maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).”

Seandainya umat kita, pemimpin dan rakyatnya, mentadabburi Kitabullah, mengamalkan hukum-hukum dan hikmahnya, niscaya mereka akan mampu mengambil sebab-sebab pertolongan dari musuh-musuh mereka dan mereka akan mengetahui sunnatullah atas makhluk-Nya yang tidak akan berubah dan berganti seiring dengan perubahan waktu dan pergiliran zaman.

Upaya mendapatkan pertolongan dari musuh-musuh Alloh sebagaimana terdapat di dalam Kitabullah adalah banyak sekali. Diantaranya adalah :

Pertama : Tauhid, Iman dan Amal Shalih

Sebagaimana dalam firman Alloh Subhanahu wa Ta’ala : “Dan Allah Telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang shaleh bahwa dia sungguh- sungguh akan menjadikan mereka berkuasa dimuka bumi, sebagaimana dia Telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang Telah diridhai-Nya untuk mereka, dan dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentausa. mereka tetap menyembahku-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. ”

Kedua : Barangsiapa yang menolong agama Alloh niscaya Alloh akan menolongnya

Menolong agama Alloh adalah dengan cara menegakkan syariat-syariat-Nya, ittiba’ (menauladani) petunjuk Nabi-Nya Shallallahu ‘alaihi wa Salam, mewujudkan ubudiyah hanyalah milik Alloh, menghidupkan sunnah-sunnah Nabi dan mematikan serta menumpas bid’ah-bid’ah dengan cara amar ma’ruf nahi munkar dan jihad melawan musuh-musuh Alloh di manapun mereka berada.

Menolong agama Alloh adalah dengan mentaati Alloh dan Rasul-Nya, melaksanakan segala perintah Alloh dan Rasul-Nya dan menjauhi segala larangan Alloh dan Rasul-Nya.

Alloh Ta’ala berfirman : “Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa” Dan barangsiapa yang diberi pertolongan oleh Alloh, maka tiada seorangpun yang dapat mengalahkannya. Alloh Ta’ala berfirman : “Jika Allah menolong kamu, Maka tak adalah orang yang dapat mengalahkan kamu; jika Allah membiarkan kamu (Tidak memberi pertolongan), Maka siapakah gerangan yang dapat menolong kamu (selain) dari Allah sesudah itu?”

Ketiga : Kesabaran dan Ketakwaan merupakan sebab pertolongan dan kemenangan dari Alloh

Alloh telah berjanji kepada orang yang bersabar dan bertakwa dengan pertolongan, kemantapan dan kemenangan serta mementalkan tipu muslihat musuh-musuhnya. Alloh Ta’ala berfirman : “Ya (cukup), jika kamu bersabar dan bersiap-siaga, dan mereka datang menyerang kamu dengan seketika itu juga, niscaya Allah menolong kamu dengan lima ribu malaikat yang memakai tanda. Dan Allah tidak menjadikan pemberian bala bantuan itu melainkan sebagai khabar gembira bagi (kemenangan)mu” Dan firman-Nya : “jika kamu bersabar dan bertakwa, niscaya tipu daya mereka sedikitpun tidak mendatangkan kemudharatan kepadamu. Sesungguhnya Allah mengetahui segala apa yang mereka kerjakan.”

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam bersabda : “Ketahuilah, sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan, dan pertolongan itu bersama kesabaran, dan bersama kesulitan itu ada kemudahan.”

Keempat : Setiap orang yang teraniaya dijanjikan pertolongan oleh Alloh, apalagi jika ia seorang mukmin yang bertakwa

Dan demikianlah, bahwa kezhaliman itu adalah kegelapan dan Alloh telah mengharamkan kezhaliman atas diri-Nya dan Ia jadikan haram pula atas makhluk-Nya. Ia perintahkan untuk menolong orang yang mazhlum (teraniaya) dan Ia jadikan do’anya mustajab yang tidak ada antara dirinya dan diri Alloh hijab (pembatas).

Alloh Ta’ala berfirman : “Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, Karena Sesungguhnya mereka Telah dianiaya. dan Sesungguhnya Allah, benar-benar Maha Kuasa menolong mereka itu” dan Alloh Ta’ala berfirman : “Demikianlah, dan barangsiapa membalas seimbang dengan penganiayaan yang pernah ia derita Kemudian ia dianiaya (lagi), pasti Allah akan menolongnya.”

Telah warid (datang) juga bahwasanya, sesungguhnya Alloh pada hari kiamat mengqishash kambing bertanduk yang menanduk kambing tidak bertanduk.

Kelima : Para penganut agama yang haq dijanjikan dengan pertolongan Alloh

Alloh Ta’ala berfirman : “Dia-lah yang mengutus rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang hak agar dimenangkan-Nya terhadap semua agama walaupun orang musyrik benci”.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam bersabda : “Sungguh urusan ini akan benar-benar mencapai apa yang dicapai siang dan malam. Dan tidaklah tersisa sebuah rumahpun di desa atau di dusun terpencil melainkan Alloh masukkan agama ini ke dalamnya, memuliakan yang mulia dan menghinakan yang hina, mulia dengan kemulian Islam dan hina dengan kehinaan kekufuran.”

Dan janji ini termaktub di dalam Kitabullah dan di atas lisan Rasulullah, janji Alloh takkan meleset karena Alloh takkan menyelisihi janjinya.

Keenam : Perselisihan merupakan sebab kelemahan dan kehinaan

Seandainya umat ini bersatu di atas kalimat tauhid dan mempersatukan kalimatnya, berpegang teguh dengan tali (agama) Alloh, berjihad memerangi musuh-musuhnya dalam rangka meninggikan kalimat Alloh dan menegakkan tauhid hanya semata untuk Alloh serta membatalkan kesyirikan, maka niscaya Alloh pasti menolong mereka.

Alloh Ta’ala berfirman : “janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar”

Ketujuh : I’dad (persiapan) menghadapi peperangan secara madiyah (materil) dan ma’nawiyah (spirituil)

Demikianlah, mengambil sebab-sebab merupakan sunnah nabawiyah yang para nabi mensunnahkannya beserta kejujuran dan tawakkal mereka yang amat sangat. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam menampakkan antara kedua baju zirahnya pada salah satu pertempurannya, dan beliau saat itu memakai topi baja, dan sebagian sahabat beliau menggunakan baju zirah yang lengkap, dan hal ini semua tidaklah menafikan tawakal kepada Alloh.

Alloh Ta’ala berfirman : “Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang”, dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam telah mentafsirkan ayat di atas dengan sabdanya : “Ketahuilah, sesungguhnya kekuatan itu adalah melempar tombak, ketahuilah, sesungguhnya kekuatan itu adalah melempar tombak”

Semoga Alloh Ta’ala memberikan kita taufiq untuk mengambil sebab-sebab datangnya pertolongan dari yahudi dan seluruh musuh-musuh Islam, yang mana pada hari itu kaum mukminin bersuka cita akan pertolongan Alloh...[25]





Penutup dan Kesimpulan



1. Permasalahan Palestina dengan Yahudi, bukanlah permasalahan tanah atau batas politik semata. Namun permasalahan Palestina dengan Yahudi adalah permasalahan aqidah dan agama.

2. Peperangan di Palestina kelak akan menjadi peperangan Islami dan ini adalah sesuatu yang pasti terjadi, dan bangsa Yahudi saat ini sedang membangun kuburan mereka sendiri di ladang pembantaian mereka.

3. Masalah Palestina tidak akan dapat diselesaikan dengan jalur perdamaian, sebab Alloh telah menetapkan selain itu, yakni dengan jihad dan perang.

4. Segala bentuk kehinaan dan musibah yang menimpa umat Islam saat ini, pada hakikatnya adalah disebabkan jauhnya umat dari agama dan pemahaman Islam yang benar.

5. Yang akan menguasai dan membebaskan tanah Palestina dan bumi Islam lainnya adalah ath-Tha`ifah al-Manshurah, yang mana mereka akan muncul dari negeri Syam.

6. Solusi untuk merebut kembali tanah muqoddasah (Palestina) dan negeri lainnya yang terjajah adalah dengan jihad syar’i, dan jihad takkan bisa terimplementasi apabila tanpa didasari dengan ilmu. Oleh karena itu, menuntut ilmu saat ini adalah kewajiban yang paling utama sebelum jihad.

7. Jihad syar’i dalam arti jihad fath wa tholab harus memenuhi persyaratan syar'i sebagai berikut :

a. Imam

b. Negara (daulah)

c. Bendera (royah)

8. Jihad syar'i memiliki persiapan (i’dad) syar'i yang harus dipenuhi. Ada dua macam persiapan, yaitu :

Pertama : Persiapan dengan pembinaan keimanan ummat, dengan cara menegakkan hakikat peribadatan hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala semata, membina jiwa mereka dengan kitabullah, mensucikan mereka dengan sunnah nabinya dan menolong agama Allah dan syariat-syariat-Nya. ”Allah benar-benar akan menolong hamba-Nya yang menolong agama-Nya.”

Kedua : Persiapan fisik, yaitu mempersiapkan sejumlah perlengkapan dan alat-alat perang untuk melawan dan memerangi musuh-musuh Allah. ”Dan persiapkanlah bagi mereka apa-apa yang kamu sanggupi, dari kekuatan dan kuda yang ditambat yang akan menggentarkan musuh Allah dan musuh-musuh kalian.”

9. Demonstrasi, unjuk rasa, mogok kerja ataupun mogok makan sebagai bentuk solidaritas terhadap bangsa Palestina bukanlah solusi islami, namun merupakan suatu bentuk tasyabbuh (penyerupaan terhadap orang kafir) yang tidaklah berfaidah melainkan menjauhkan umat dari sebab-sebab pertolongan Alloh.



Syaikhul Islam Taqiyuddin Ibnu Taimiyah berkata :

“Wajib hukumnya beri’dad (mempersiapkan) diri untuk berperang dengan mempersiapkan kekuatan dan menambatkan kuda-kuda perang ketika masih belum mampu melakukan jihad dikarenakan masih lemah. Sesungguhnya suatu kewajiban yang tidak akan sempurna tanpanya maka hal tersebut adalah wajib.” (Majmu’ Fatawa : 28/259).



Allamah as-Syam, Muhammad Rasyid Ridha berkata :

“Sesungguhnya barangsiapa yang menjual sejengkal saja tanah Palestina atau tanah sekitarnya kepada Yahudi atau Inggris, maka sungguh ia bagaikan orang yang menggadaikan Masjidil Aqsha dan menggadaikan seluruh negeri. Karena apa yang mereka beli merupakan sarana menuju kepada hal itu (tergadaikannya Masjidil Aqsho dan seluruh negeri Islam) dan menjadikan Hijaz dalam keadaan rawan. “Leher” tanah di negeri ini bagaikan leher manusia dari jasadnya, dengan demikian tanah ini terhitung secara syar’i bagi kemanfaatan Islam secara umum, tidak sebagai kepemilikan orang-orang tertentu. Kepemilikan secara agresi terhadap negeri Islam adalah batil, merupakan pengkhianatan terhadap Alloh, Rasul-Nya dan terhadap amanat Islam...” (Majalah “al-Manar” no. 34 hal. 612)





<<<---Home--->>>





(*) Disusun dari beberapa sumber oleh Abu Salma al-Atsari.

[1] Sengaja kami pilih kata Nubuwat daripada kata ramalan, karena kata nubuwat lebih sesuai dan pantas daripada penggunaan kata ramalan. Kata ramalan seringkali berasosiasi dengan klenik, khurofat, takhayul ataupun metafisika. Sedangkan nubuwat maka asosiasinya adalah dengan wahyu : al-Qur’an atau as-Sunnah yang shahih.

[2] Disarikan dari “Jama’ah-Jama’ah Islamiyah Ditimbang Menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah” (terj. Al-Jama’at al-Islamiyyah fi Dhou’il Kitaabi was Sunnah), karya Syaikh Salim bin Ied al-Hilaly, pent. Ust. Abu Ihsan al-Atsari, Pustaka Imam Bukhari, Jilid I, cet. I, Juni 2003, hal. 90-108.

[3] Dipetik secara ringkas dan bebas dari artikel yang berjudul Haditsu Qitaali al-Yahuudi Riwaayatan wa Dirooyatan, karya Syaikh Ali Hasan al-Halabi, dalam Majalah al-Asholah, no. 30, th. V, hal. 7-8.

[4] Disarikan dari artikel yang berjudul ath-Tha`ifah al-Manshurah wal Bilaad al-Muqoddasah, karya Syaikh Abu Usamah Salim bin Ied al-Hilali, dalam Majalah al-Asholah, no. 30, th, V, hal. 17-21.

[5] QS al-Anfal : 72

[6] QS at-Taubah : 29

[7] QS al-Maa`idah : 82

[8] QS ash-Shaff : 10-13

[9] QS at-Taubah : 41

[10] QS at-Taubah : 19-22

[11] QS at-Taubah : 52

[12] QS Muhammad : 7

[13] QS ar-Ruum : 47

[14] QS al-Hajj : 40-41

[15] QS Ali ‘Imraan : 118

[16] QS Ali ‘Imraan : 120

[17] QS az-Zumar : 20

[18] QS Ali ‘Imraan : 120

[19] QS at-Taubah : 111

[20] QS as-Sajdah : 24

[21] QS al-Anfaal : 60

[22] QS an-Nisaa` : 71

[23] QS an-Nisaa` : 102

[24] Disarikan dari artikel yang berjudul Mauqifu al-Yahud minal Islam wa Fadhlu al-Jihaad fi Sabilillahi, karya al-Imam Abdul Aziz bin Baz rahimahullahu, dalam Majalah al-Asholah, no. 30, th. V, hal. 45-58.

[25] Disarikan dari artikel yang berjudul Ma’aalimu al-Ihtidaa` fi ‘Awaamilin Nashri ‘alal A’daa`, tulisan redaksi Majalah al-Asholah, no. 30, th. V, hal. 80-83.

Sunday, December 28, 2008


الحمد لله، والصلاة والسلام على رسول الله، أما بعد،

فالكل يعرف قصة أصحاب السبت، وهم طائفة من اليهود حرم الله عليهم صيد يوم السبت عقوبة لهم على أمر، ثم ابتلاهم بأن الصيد لا يأتي إلا يوم السبت.

وقد قيل في المـَثل: إن الكلب قد ذهب إلى الأسد قائلاً: يا ملك الغابة، اختر اسمًا حسنًا، فقال: نعطيك قطعة لحم ونأتمنك عليها إلى الغد، فإن حفظتَها ائتمناك على الاسم الحسن، فقَبِل ذلك، ثم لما لم يصبر عليها أكلها قائلاً: وما كلب إلا اسم حسن.

وهؤلاء اليهود لم يصبروا على هذا الابتلاء فانتهكوه واحدًا بعد الآخر حتى عمَّ فيهم المنكر؛ فمسخهم الله قردة وخنازير، ومن ثَم قيل لليهود: إنهم إخوان القردة والخنازير، وليست هذه بأُخُوَّة نسب، وإلا لقيل: (وَلا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَأُخْرَى) (الأنعام:164)، ولكنها أخوة نسب مع رضى بالأفعال والسير على نفس الطريق.


إن قصة أصحاب السبت تلخص السمات النفسية لليهود:






ومضى أصحاب القرية وظل اليهود كلهم أصحاباً للسبت عبر العصور، يلزمون الدنيا بأسرها أن تغلق يوم السبت -لاسيما البنوك الربوية- بينما لا يتركون هم في دولتهم اللقيطة التنزه والتسوق يوم السبت!

وفي مؤتمر مدريد للسلام عقدت الاجتماعات وقت صلاة الجمعة والمسلمون -الذين لم يطلب دينهم الوسط غيرَ أداء الصلاة ثم الانتشار في الأرض- جالسون مع اليهود يفاوضون ويستسلمون! ثم صفعهم الوفد اليهودي إحدى صفعات غدره عندما غادر مدريد إلى تل أبيب بحجة أن اليهود يحرم عليهم العمل يوم السبت، رغم أن جدول الأعمال المعَد سلفًا كان يتضمن لقاءات يوم السبت.

والآن يعلن اليهود عن مهلة لحماس وغيرها تنتهي يوم الأحد، ويؤكد أن عطلة السبت إذا مرت بسلام؛ فإن هذا من شأنه أن يساعد مجلس الوزراء الإسرائيلي على تجنب توجيه ضربة لغزة في اجتماعه يوم الأحد، ثم تُوَجَّه ضربةُ الغدر إلى المدنيين العُزَّل في غزة ظهر يوم السبت!

وأظن أننا لسنا في حاجة إلى أن نؤكد أن أخلاق الحرب في الإسلام وإن كان في قاموسها أن "الحرب خدعة"؛ فليس في قاموسها الغدر والخيانة ونقض العهود، حتى أن الله ألزم المسلمين المعاهِدين إذا ارتابوا من عدوهم وأرادوا فسخ العهد ألا يحركوا ساكنًا قبل أن يُعلِموا عدوَّهم بذلك؛ حتى يكون هو والمسلمون في معرفة انقضاء العهد سواءً) وَإِمَّاتَخَافَنَّ مِنْ قَوْمٍ خِيَانَةً فَانْبِذْ إِلَيْهِمْ عَلَى سَوَاءٍ إِنَّاللَّهَ لا يُحِبُّ الْخَائِنِينَ)(الأنفال:58) 2- الحرص على الحياة. 3- التظاهر على المنكر. 4- الاحتيال على أمر الله فضلا عن البشر. 1- التمرد على أمر الله. .

Friday, December 26, 2008


Hijrah of Hearts: The Greatest Kind of Hijrah


By Sheikh Salih ibn Fawzan Al-Fawzan


February 6, 2005

Praise be to Allah Who has ordained the hijrah (migration) of hearts and the hijrah of bodies on His servants and has made these two kinds of migration everlasting throughout the ages. We Muslims should follow the example of the Prophet (peace and blessings be upon him) by modeling ourselves after his guidance and course of life and following in his footsteps in terms of talking and behaving. Allah Almighty has ordered us to do this, saying, [Verily in the messenger of Allah ye have a good example for him who looketh unto Allah and the last Day, and remembereth Allah much] (Al-Ahzab 33:21).

By the beginning of the month of Muharram, people start talking much about the Prophet's Hijrah in sermons, lectures, and the mass media. Such speeches are mostly mere stories by which people pass the time; and in a few days, the matter is neglected and forgotten without affecting people's souls or being regarded as a model to follow in manners and behavior. Rather, it has become an annual custom that people speak of without understanding or acting according to the meaning of hijrah.

Linguistically speaking, the word hijrah in Arabic indicates separating oneself from others bodily, spiritually, or in speech. Legally speaking, it means departing from disbelieving countries, evil people, or evil deeds and dispraised practices. The hijrah in this sense is among the traditions of Ibrahim (peace and blessings be upon him) who said, [Lo! I am going unto my Lord Who will guide me] (As-Saffat 37:99). The verse refers to Ibrahim's emigration from the country of disbelievers, seeking faith. Some of his offspring accompanied him to Ash-Sham, where Al-Aqsa Mosque is located in Palestine, and then, accompanied by some others of his offspring, he moved to Al-Hijaz, where the Sacred Mosque is situated in Makkah. This is stated in the invocation mentioned in the verse that reads [Our Lord! Lo! I have settled some of my posterity in an uncultivable valley near unto Thy holy House] (Ibrahim 14:37).

Hijrah was also established by Prophet Muhammad (peace and blessings be upon him) as he twice ordered his Companions to immigrate to Abyssinia to preserve their faith when the disbelievers in Makkah began torturing them severely. The Prophet, however, remained in Makkah calling people to Allah, in spite of the great harm he received. Then Allah Almighty permitted him to immigrate to Madinah. The Prophet (peace and blessings be upon him) allowed his Companions to go to Madinah, and, accordingly, they began emigrating, leaving their homes and properties, seeking the bounties and satisfaction of Allah, and helping Allah's cause and His Messenger. Allah praised those Muhajirun (immigrants to Madinah) and promised them great reward. That is why Hijrah is mentioned in the Qur’an associated with jihad. Further, the Muhajirun became the best of the Prophet's Companions, as they sacrificed everything one may cherish; namely home, property, family, and relatives, in order to preserve their faith and to please Allah.

Emigration has become an established fact that will not cease until Judgment Day, as stated in the hadith that reads “Hijrah will not end until repentance ends, and repentance will not end until the sun rises in the west (that is immediately before the Judgment Day).” Hence, whoever cannot declare his religion in a particular place must move to another place where he can freely declare his faith. Moreover, Allah Almighty has threatened whoever can emigrate for the above-mentioned reason and does not: [Lo! As for those whom the angels take (in death) while they wrong themselves, (the angels) will ask: In what were ye engaged? They will say: We were oppressed in the land. (The angels) will say: Was not Allah's earth spacious that ye could have migrated therein? As for such, their habitation will be hell, an evil journey's end; Except the feeble among men, and the women, and the children, who are unable to devise a plan and are not shown a way. As for such, it may be that Allah will pardon them. Allah is ever Clement, Forgiving] (An-Nisaa’ 4:97–99).

This is, in fact, a strongly worded threat to whoever neglects emigration, when needed, without a legal excuse. Allah’s earth is spacious, and without doubt, there are many good places where one may practice one’s religion freely. In accordance with this meaning, Allah Almighty says, [Whoso migrateth for the cause of Allah will find much refuge and abundance in the earth] (An-Nisaa’ 4:100). Furthermore, Allah compensates those who emigrate for the properties left behind. The Almighty says, [To those who leave their homes in the cause of Allah, after suffering oppression, we will assuredly give a goodly home in this world; but truly the reward of the Hereafter will be greater; if they only realized (this)!] (An-Nahl: 41–42).

Among the different kinds of hijrah is the abandonment of wrongdoings such as acts of disbelief, polytheism, hypocrisy, and other evil deeds and bad morals. Addressing Prophet Muhammad, Allah Almighty says, [And idols, shun] (Al-Muddaththir 74:5). Avoiding idols, as stated in the verse, also implies denouncing them as well as the people who glorify them. Besides, the Prophet (peace and blessings be upon him) tells us that a Muslim is the one who avoids harming Muslims with his tongue and hands, and an emigrant is the one who abandons all what Allah has forbidden. The hadith indicates that one should forsake any deed, rule, word, food, or anything Allah Almighty has prohibited, as well as forbidden gaze and forbidden hearing. All such matters should be forsaken completely.

Another kind of hijrah is to desert wrongdoers such as disbelievers, hypocrites, immoral people, and the like, as Allah Almighty says, [And bear patiently what they say and avoid them with a becoming avoidance] (Al-Muzzammil 73:10). Here, Allah orders His Messenger (peace and blessings be upon him) to be patient with those foolish persons who belie him among his people, and to forsake them without blaming them.

The highest form of hijrah is the hijrah of the hearts to Allah through worshiping Him sincerely in secret and in public. In this form of hijrah, the true believer should not intend anything with his words and deeds except gaining Allah's pleasure and should not love except Allah and whoever is loved by Allah. Similarly, hijrah to Allah's Messenger can be fulfilled by following him and giving priority to obeying his orders over anybody else's.

To conclude, discussing hijrah cannot be fulfilled by just narrating the stories and incidents of the Prophet’s Hijrah, nor by holding ceremonies and then, all of a sudden, everything ends, leaving no trace in the soul or effect on the behavior. Unfortunately, many of those who talk about hijrah every new year do not know its meaning or act according its objectives. They may even act in contrast with such meanings and objectives; and thus talking about hijrah becomes mere words, which are of no avail.

* A member of The Saudi Counsel of Senior Scholars, the Permanent Committee for Islamic Research and Fatwas and the Fiqh Academy in Makkah affiliated to the Muslim World League.

Hijrah Heroes


Hijrah Heroes

Asma’ bint Abi Bakr: The One with Two Waistbelts*

By Abdul Wahid Hamid


February 6, 2005

Asma’ bint Abi Bakr belonged to a distinguished Muslim family. Her father, Abu Bakr, was a close friend of the Prophet and the first caliph after his death. Her half-sister `A'ishah was a wife of the Prophet and one of the Mother of the Believers. Her husband, Az-Zubayr ibn Al-`Awwam, was one of the special personal aides of the Prophet. Her son `Abdullah became well known for his incorruptibility and his unswerving devotion to Truth.

Asma’ herself was one of the first persons to accept Islam. Only about seventeen persons including both men and women became Muslims before her. She was later given the nickname Dhat An-Nitaqayn (the One with Two Waistbelts) because of an incident connected with the departure of the Prophet and her father from Makkah on the historic Hijrah to Madinah.

Asma’ was one of the few persons who knew of the Prophet's plan to leave for Madinah. The utmost secrecy had to be maintained because of the Quraysh’s plans to murder the Prophet. On the night of their departure, Asma’ prepared a bag of food and a water container for their journey. Not finding anything to tie the containers with, she decided to use her waistbelt (nitaq) but followed her father’s suggestion to tear it into two. The Prophet commended her action and from then on she became known as the One with the Two Waistbelts.

When it came her turn to emigrate from Makkah, soon after the departure of the Prophet, Asma’ was pregnant. She did not let her pregnancy or the prospect of a long and arduous journey deter her from leaving. As soon as she reached Quba’ on the outskirts of Madinah, she gave birth to a son, `Abdullah. The Muslims shouted “Allahu Akbar” (Allah is the Greatest) and “La ilaha illa Allah” (There is no god but Allah) in happiness and thanksgiving because this was the first child to be born to the Muhajirun in Madinah.

* Excerpted and edited from http://www.youngmuslims.ca.

Hijrah Heroes


Hijrah Heroes

Ja`far ibn Abi Talib: The Active Immigrant*



February 06, 2005

In spite of his noble standing among the Quraysh, Abu Talib, an uncle of the Prophet (peace and blessings be upon him), was quite poor. He had a large family and did not have enough means to support them adequately. His poverty-stricken situation became much worse when a severe drought hit the Arabian Peninsula. The drought destroyed vegetation and livestock and, it is said, people were driven to eat bones in the struggle for survival.

It was during this time of drought and before his call to prophethood, that Muhammad (peace and blessings be upon him) said to his uncle Al-`Abbas, “Your brother Abu Talib has a large family. People, as you see, have been afflicted by this hardship. Let us go to Abu Talib and ease his burden by taking over responsibility for some of his sons. I will take one of his sons and you can take another and we will look after them.”

The suggestion was welcomed by Al-`Abbas, and together they went to Abu Talib and said to him, “We want to ease some of the burden of your family until such time as this distressing period has gone.” Abu Talib agreed.

“If you allow me to keep `Aqeel (one of his sons older than `Ali), then you may do whatever you like,” he said.

Accordingly, Muhammad (peace and blessings be upon him) took `Ali into his household and Al-`Abbas took Ja`far into his. Ja`far had a very close resemblance to the Prophet. It is said there were five men from the Hashim clan who resembled the Prophet so much, they were often mistaken for him. They were Abu Sufyan ibn Al-Harith and Qutham ibn Al-`Abbas, his cousins; As-Sa’ib ibn `Ubayd, the grandfather of Imam Ash-Shafi`i; Al-Hasan ibn `Ali, the grandson of the Prophet, who resembled him most of all; and Ja`far ibn Abi Talib.

Ja`far stayed with his uncle Al-`Abbas until he was a young man. Then he married Asma’ bint `Umays, a half sister of Maymunah who was later to become a wife of the Prophet. After his marriage, Ja`far went to live on his own. He and his wife were among the first persons to accept Islam. He became a Muslim at the hands of Abu Bakr As-Siddiq (may Allah be pleased with him).

The young Ja`far and his wife were devoted followers of Islam. They bore the harsh treatment and the persecution of the Quraysh with patience and steadfastness because they both realized that the road to Paradise was strewn with thorns and paved with pain and hardship.

The Quraysh made life intolerable for them both and for their brethren in faith. They tried to obstruct them from performing the duties and rites of Islam. They prevented them from tasting the full sweetness of worship undisturbed. The Quraysh waylaid them at every turn and severely restricted their freedom of movement.

Ja`far eventually went to the Prophet (peace and blessings be upon him) and sought permission for himself and a small group of the Companions, including his wife, to make hijrah to the land of Abyssinia. The Prophet gave his permission,
though it was so painful, indeed, to see these pure and righteous souls forced to leave their homes and the familiar and cherished scenes and memories of their childhood and youth, not for any crime but only because they said “Our Lord is One. Allah is our Lord.”

The group of emigrants left Makkah bound for the land of Abyssinia. Leading them was Ja`far ibn Abi Talib. Soon they settled down in this new land under the care and protection of the Negus, the just and righteous ruler of Abyssinia. For the first time since they had become Muslims, they savored the taste of freedom and security and enjoyed the sweetness of worship undisturbed.

When the Quraysh learned of the departure of the small group of Muslims and the peaceful life they enjoyed under the protection of the Negus, they made plans to secure their extradition and return to the great prison that was Makkah. They sent two of their most formidable men, `Amr ibn Al-`Aas and `Abdullah ibn Abi Rabi`ah, to accomplish this task and loaded them with valuable and sought after presents for the Negus and his bishops.

In Abyssinia, the two Quraysh emissaries first presented their gifts to the bishops and said to each of them, “There are some wicked young people moving about freely in the king’s land. They have attacked the religion of their forefathers and caused disunity among their people. When we speak to the king about them, advise him to surrender them to us without his asking them about their religion. The respected leaders of their own people are more aware of them and know better what they believe.”

The bishops agreed.

`Amr and `Abdullah then went to the Negus himself and presented him with gifts, which he greatly admired. They said to him, “O King, there is a group of evil persons from among our youth who have escaped to your kingdom. They practice a religion which neither we nor you know. They have forsaken our religion and have not entered into your religion. The respected leaders of their people—from among their own parents and uncles and from their own clans—have sent us to you to request you to return them. They know best what trouble they have caused.”

The Negus looked towards his bishops, who said, “They speak the truth, O King. Their own people know them better and are better acquainted with what they have done. Send them back so that they themselves might judge them.”

The Negus was quite angry with this suggestion and said, “No, by God, I won’t surrender them to anyone until I myself call them and question them about what they have been accused. If what these two men have said is true, then I will hand them over to you. If, however, it is not so, then I shall protect them so long as they desire to remain under my protection.”

The Negus then summoned the Muslims to meet him. Before going, they consulted with one another as a group and agreed that Ja`far ibn Abi Talib and no one else should speak on their behalf.

In the court of the Negus, the bishops, dressed in green surplices and impressive headgear, were seated on his right and on his left. The Qurayshi emissaries were also seated when the Muslims entered and took their seats.

The Negus turned to them and asked, “What is this religion which you have introduced for yourself and which has served to cut you off from the religion of your people? You also did not enter my religion nor the religion of any other community.”

Ja`far ibn Abi Talib then advanced and made a speech that was moving and eloquent and which is still one of the most compelling descriptions of Islam, the appeal of the noble Prophet, and the condition of Makkan society at the time. He said, “O King, we were a people in a state of ignorance and immorality, worshiping idols and eating the flesh of dead animals, committing all sorts of abomination and shameful deeds, breaking the ties of kinship, treating guests badly, and the strong among us exploited the weak. We remained in this state until Allah sent us a Prophet, one of our own people whose lineage, truthfulness, trustworthiness and integrity were well-known to us. He called us to worship Allah alone and to renounce the stones and the idols which we and our ancestors used to worship besides Allah.

“He commanded us to speak the truth, to honor our promises, to be kind to our relations, to be helpful to our neighbors, to cease all forbidden acts, to abstain from bloodshed, to avoid obscenities and false witness, not to appropriate an orphan’s property nor slander chaste women.

“He ordered us to worship Allah alone and not to associate anything with Him, to uphold salah (Prayer), to give zakah (obligatory alms) and fast in the month of Ramadan.

“We believed in him and what he brought to us from Allah and we follow him in what he has asked us to do and we keep away from what he forbade us from doing.

“Thereupon, O King, our people attacked us, visited the severest punishment on us to make us renounce our religion and take us back to the old immorality and the worship of idols.

“They oppressed us, made life intolerable for us, and obstructed us from observing our religion. So we left for your country, choosing you before anyone else, desiring your protection and hoping to live in justice and in peace in your midst.”

The Negus was impressed and was eager to hear more. He asked Ja`far, “Do you have with you something of what your Prophet brought concerning God?”

“Yes,” replied Ja`far.

“Then read it to me,” requested the Negus. Ja`far, in his rich, melodious voice recited for him the first portion of Surat Maryam, which deals with the story of Jesus and his mother Mary.

On hearing the words of the Qur’an, the Negus was moved to tears. To the Muslims, he said, “The message of your Prophet and that of Jesus came from the same source.”

To `Amr and his companion, he said, “Go! For, by God, I will never surrender them to you.”

That, however, was not the end of the matter. `Amr made up his mind to go to the king the following day, as he himself told “to mention something about the Muslims’ belief which will certainly fill his heart with anger and make him detest them.” On the morrow, `Amr went to the Negus and said, “O King, these people to whom you have given refuge and whom you protect say something terrible about Jesus the son of Mary. Send for them and ask them what they say about him.”

The Negus summoned the Muslims once more and Ja`far acted as their spokesman. The Negus put the question, “What do you say about Jesus, the son of Mary?”

“Regarding him, we only say what has been revealed to our Prophet,” replied Ja`far.

“And what is that?” enquired the Negus.

“Our prophet says that Jesus is the servant of Allah and His prophet. He is a spirit from Allah, and a word cast forth to Mary the Virgin by Him Almighty.”

The Negus was obviously excited by this reply and exclaimed, “By God, Jesus the son of Mary was exactly as your prophet has described him.”

The bishops around the Negus grunted in disgust at what they had heard and were reprimanded by the Negus. He turned to the Muslims and said, “Go, for you are safe and secure. Whoever obstructs you will pay for it and whoever opposes you will be punished. For, by God, I would rather not have a mountain of gold than that anyone of you should come to any harm.”

Turning to `Amr and his companion, he instructed his attendants, “Return their gifts to these two men. I have no need of them.”

`Amr and his companion left broken and frustrated. The Muslims stayed on in the land of the Negus, who proved to be most generous and kind to his guests.

Ja`far and his wife Asma’ spent about 10 years in Abyssinia, which became a second home for them. There Asma’ gave birth to three children whom they named `Abdullah, Muhammad and `Awn. Their second child was possibly the first child in the history of the Muslim Ummah to be given the name Muhammad after the noble Prophet (peace and blessings be upon him).

In AH 7 Ja`far and his family left Abyssinia with a group of Muslims and headed for Madinah. When they arrived the Prophet was just returning from the successful conquest of Khaybar. He was so overjoyed at meeting Ja`far that he said, “I do not know what fills me with more happiness, the conquest of Khaybar or the coming of Ja`far.”

The Muslims and especially the poor among them were just as happy with the return of Ja`far as the Prophet was. Ja`far quickly became known as a person who was much concerned for the welfare of the poor and indigent. For this he was nicknamed the Father of the Poor. Abu Hurayrah (may Allah be pleased with him) said, “The best of men towards us indigent folk was Ja`far ibn Abi Talib. He would pass by us on his way home and give us whatever food he had. Even if his own food had run out, he would send us a pot in which he had placed some butterfat and nothing more. We would open it and lick it clean.”

Hence, after long and painful years of parting, the eyes of Ja`far finally saw the features of the beloved Prophet’s face, and he eventually reunited with his fellow Muslims in their new community of Madinah to undertake a new episode of struggle and to strive in the noble cause of Allah.

* Excerpted and edited from http://www.youngmuslims.ca.

Real Also:

* `Umar ibn Al-Khattab: Migration of a Brave Heart
* Abu Bakr As-Siddiq: Man for All Ages
* Umm Salamah: Mother of Believers
* Abu Yahya, Suhaib ibn Sinan
* Abu Ayyub Al-Ansari: A Lifetime Warrior
* Abu `Ubaydah ibn Al-Jarrah: A Real Man You Can Trust!
* Al-Bara’ ibn Malik Al-Ansari: Allah & Paradise
* Mus`ab ibn `Umayr… Matchless Ambassador
* Salman Al-Farisi: The Seeker of Truth
* She of the Two Belts: A Mainstay of Hijrah
* Hijrah: Reshaping Women's Role in Society? (Live Dialogue)

Thursday, December 25, 2008

Apa Bayi Buat Dalam Perut?


Sebenarnya ada dua soalan, apa bayi buat dalam perut dan apa korang buat dalam dunia ni...Untuk mengetahui apa yang bayi buat dalam perut, kita tanya seorang ibu (kononnya) yang di beri izin oleh Allah untuk bercakap dengan bayinya….

BERCAKAP DENGAN BAYI:

Ibu: Apa khabar kau?

Bayi: Khabar baik aku.

Ibu: Apa kau buat kat dalam tu?

Bayi:Aku duk pusing2 sambil makan2.

Ibu: Ada apa kat dalam?

Bayi: Tak nampak apa2, gelap tapi nyaman, tidak sejuk dan panas, sambil makan2. Aku selesa di
sini.

Ibu: Apa kau makan kat dalam tu?

Bayi:Makanan yang dihantar melalui tali pusat.

Ibu: Oh..Itu darah haid…agaknya.

Bayi: Apa itu darah haid.?

Ibu:.. kalau ibu cakap pun kau bukannya paham..

Bayi: Cakap je lah..

Ibu: Perempuan kalau tidak beranak keluar darah haid, tapi bila dah mengandung darah haid dah
takde, Allah tukar jadi makanan bayi ..ibu rasalah…agaknya.

Bayi: Tak faham aku..

Ibu: Kang ibu dah cakap….

Bayi: Tapi aku tak sedap hatilah, aku makin hari makin sukar bergerak, ada benda2 tak berguna keluar dari badan aku dan menganggu aku.

Ibu: Patutlah kau duduk terajang-terajang, rupa2nya kau tak bebas bergerak..Itu adalah tangan dan kaki kau, kau tak perlukan kat dalam tu tapi bila kau keluar kau sangat2 perlukan tangan dan kaki kau tu..

Bayi: Ah taknaklah saya, baik saya gunakan zat tu untuk besarkan tali pusat. Boleh makan banyak sikit.

Ibu: Jangan begitu anakku, bila kau lahir nanti takkan ade doctor boleh cipta kaki untuk kau, kau akan cacat selama-lamanya…kau tak boleh naik basikal

Bayi: Basikal tu apa?

Ibu:Itu adalah salah satu nikmat dunia, bila sampai masa nanti kau akan kena keluar dari perut mak, kau akan menagis terkejut…

Bayi: Baiklah mak…tapi saya tak takut kerana tuhan dah bagitau bila saya keluar nanti ada malaikat jaga saya.

Ibu: Malaikat?, Siapa nama malaikt tu…?

Bayi:Tuhan kata panggilah dia: BONDA.
Tammat…

Sekarang korang ikuti temubual aku bersama makhluk ‘engkau’…
BERCAKAP DENGAN ENGKAU:


Aku: Apa khabar kau?

Engkau: Khabar baik aku.

Aku: Apa kau buat kat dunia ni?

Engkau:Aku duk pusing2 sambil cari makan..

Aku: Apa yang kau makan?

Engkau:yang halal. Macam2 ada: nasi ayam, nasi itik. Nasi goreng kampong…

Aku: Oh..Itu makanan dari tanah.Akhirat nanti makan dari khazanah Allah..

Engkau:: Apa itu khazanah Allah..

Aku:.. kalau aku cakap pun kau bukanya paham..

Engkau:: Cakap je lah..

Aku: Khazanah Allah ,makan dlm shurga kau niat je terus muncul, macam magik ler...

Engkau:: Tak faham aku..

Aku: Kang aku dah cakap….

Engkau: Tapi aku tak sedap hatilah ramai pendaqwah ganggu aku, mintak aku bagi masa dengar ceramah, tak bebas aku dibuatnya…

Aku: Patutlah kau lari2, rupa2nya kau rasa tak bebas bergerak. Diorang tu mintak masa supaya akhirat nanti kau tak rugi…bila kau tak solat, akhirat nanti takde kepala, kau tau?

Engkau:: ye ke ni,,,Ah taknaklah aku, baik aku gunakan masa tu untuk besarkan pernigaan aku. Boleh makan banyak sikit.

Aku: Janganlah begitu engkau…, bila kau dah jadi mayat nanti takkan ade org boleh tolong kau dalam kubur, padang mahshar, titi sirat…tak dapat shafaat nabi.

Engkau:: Shafaat tu ape?

Aku: Itu adalah salah satu nikmat akhirat, Nabi bagi kat org yg ikut sunnah dia...bila sampai masa nanti kau akan akan jadi mayat, baru kau tau...kau akan menangis terkejut…

Engkau: ah..mulalah nak dakwah aku tu.... aku sibuklah nak baca blog engkau ni baik aku pergi besar kan ‘tali pusat’ aku….
Sign out….


Disini solat, puasa, haji memang tak nampak manfaat, tapi korang akan dapat manfaatnya disana, akhirat yang kekal abadi…macam bayi, dalam rahim tangan, kaki, mana ada manfaat, bila dah beranak kalau cacat, cacat selama-lamanya, tali pusat yang paling sedap dalam perut mak kita jika bagi kat korang sekarang, muntah bueekkk, korang…tapi manusia hari ini sibuk besarkan ‘tali pusat’ hingga lupa pada perintah Allah…nauzubillah…

Ps: Hari2 dalam surat khabar cerita pasal mayat bayi dan mayat bapak budak ditemui di sana-sini….mayat kita juga akan di jumpai seseorang…

Wednesday, December 24, 2008

Kecantikan lelaki dan kegagahan wanita

Kecantikan lelaki dan kegagahan wanita

Kecantikan seorang lelaki bukan kepada rupa fizikal tetapi pada murni rohani. Lelaki yang cantik,adalah:-
1) Lelaki yang mampu mengalirkan airmata untuk ingatan
2) Lelaki yang sedia menerima segala teguran
3) Lelaki yang memberi madu,setelah menerima racun
4) Lelaki yang tenang dan lapang dada
5) Lelaki yang baik sangka
6) Lelaki yang tak pernah putus asa
Kecantikan lelaki berdiri di atas kemuliaan hati. Seluruh kecantikan yang ada pada Nabi Muhammad adalah kecantikan yang sempurna seorang lelaki.

Kegagahan seorang wanita bukan kepada pejal otot badan,tetapi pada kekuatan perasaan. Perempuan yang gagah,adalah:-
1) Perempuan yang tahan menerima sebuah kehilangan
2) Perempuan yang tidak takut pada kemiskinan
3) Perempuan yang tabah menanggung kerinduan setelah ditinggalkan
4) Perempuan yang tidak meminta-minta agar di penuhi segala keinginan.


Kegagahan perempuan berdiri di atas teguh iman. Seluruh kegagahan yang ada pada Khadijah adalah kegagahan sempurna bagi seorang perempuan.

Sabda Rasulullah SAW :"Sebarkanlah ajaranku walaupun satu ayat "

JAUHI PERBUATAN SYIRIK SEMPENA HARI NATAL

"Ya Allah kami berlindung dengan Mu dari perbuatan syirik terhadap Mu sedang kami menyedari, dan kami berlindung dengan Mu dari perbuatan syirik terhadap Mu yang tidak kami sedari..."
Sahabat-sahabat, saudara saudari yang dikasihi kerana Allah, semoga kita tidak terlibat di dalam meraikan sambutan hari Natal samada mengirim kad2 atau membeli hiasan2, mengucapkan selamat serta turut serta dengan kaum kafeer dalam perayaan syirik mereka.kerana ini akan merosakkan kalimah syahadah. Ketahuilah wahai saudara saudariku, perayaan hari natal ialah perayaan sempena mensyirikkan Allah . Sila rujuk Surah maryam ayat 88.

Saturday, December 20, 2008


خلق الرفق في حياة النبي صلى الله عليه وسلم





الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله أما بعد فإن النبي صلى الله عليه وسلم أتى إلى البشرية بتطهير النفس من الأخلاق الرديئة وحثها على الأخلاق الحسنة. ومن أعظم الأخلاق الفاضلة التي أوصى بها النبي صلى الله عليه وسلم خلق الرفق ذلك الخلق الرفيع الذي يضع الأمور في نصابها ويصحح الأخطاء ويقوم السلوك ويهدي إلى الفضائل بألطف عبارة وأحسن إشارة وطريقة مؤثرة.

لقد أكثر النبي صلى الله عليه وسلم في الرفق فقال: (إن الله رفيق يحب الرفق في الأمر كله). متفق عليه. وفي صحيح مسلم عن عائشة رضي الله عنها أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: (إن الرفق لا يكون في شيء إلا زانه ولا ينزع من شيء إلا شانه). وهذا يدل على أهمية هذا الخلق وحاجة الخلق إليه في سائر شؤونهم.

إن الرفق يعني لين الجانب بالقول والفعل واللطف في اختيار الأسلوب وانتقاء الكلمات وطريقة التعامل مع الآخرين وترك التعنيف والشدة والغلظة في ذلك والأخذ بالأسهل. والرفق عام يدخل في كل شيء تعامل الإنسان مع نفسه ومع أهله ومع أقاربه وأصحابه ومع من يشاركه في مصلحة أو جوار وحتى مع أعدائه وخصومه فهو شامل لكل الأحوال والشؤون المناسبة له.

إن استعمال الرفق في الأمور يؤدي إلى أحسن النتائج وأطيب العواقب ويبارك الله في هذا السلوك وينفع به. أما استعمال العنف والشدة والغلظة تفسد الأمور وتصعبها على أصحابها وتجعل النتائج عكسية ويحرم الخير من ترك الرفق وترفع البركة في عمله ويصعب عليه الأمر. قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: (من يحرم الرفق يحرم الخير كله). رواه مسلم. وقال صلى الله عليه وسلم: (إن الله رفيق يحب الرفق ويعطي على الرفق ما لا يعطي على العنف وما لا يعطي على ما سواه). رواه مسلم.

كما أن الرفق له أثر حسن في التأليف بين القلوب والإصلاح بين المتخاصمين وهداية الكفار واستياقهم إلى حظيرة الإسلام والبركة في الرزق والأجل كما قال النبي صلى الله عليه وسلم: (إنه من أعطي حظه من الرفق فقد أعطي حظه من خير الدنيا والآخرة وصلة الرحم وحسن الخلق وحسن الجوار يعمران الديار ويزيدان في الأعمار). رواه أحمد.

وليست الرجولة والمروءة في ترك الرفق واستعمال العنف والشدة في سائر الأحوال ويخطئ من يظن أن استعمال الرفق ينقص من قدر الإنسان أو يكون علامة على ضعف الإنسان وخوره في طلب الحقوق فإن هذا الفهم خاطئ من موروثات الجاهلية. لأن سلوك الرفق لا يقتضي ترك المطالبة بالحق أوالسكوت عن الباطل أو المداهنة فيه أو التنازل عن الحقوق وإنما هو استعمال اللطف في الأسلوب والطريقة فقط دون المضمون فالرفيق يطالب بحقه ويبين الشرع ويأمر بالمعروف ويؤدب من تحت يده ويعامل الناس ولكن كل ذلك يفعله بسلوك اللطف والرفق. قال الله تعالى: (اذْهَبَا إِلَى فِرْعَوْنَ إِنَّهُ طَغَى فَقُولَا لَهُ قَوْلًا لَيِّنًا لَعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَى). وقال سفيان الثوري : (لا يأمر بالمعروف وينهى عن المنكر إلا من كان فيه خصال ثلاث : رفيق بما يأمر رفيق بما ينهى عدل بما يأمر عدل بما ينهى عالم بما يأمر عالم بما ينهى).

لقد كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يعيش الرفق ويتمثل به في سائر أحواله وشؤون حياته كما قالت عائشة رضي الله عنها: (ما خير رسول الله صلى الله عليه وسلم بين أمرين قط إلا أخذ أيسرهما ما لم يكن إثما فإن كان إثما كان أبعد الناس منه). متفق عليه. وقد ثبت ذلك عنه في مجالات كثيرة منها:

1- الرفق مع الأهل: قالت عائشة رضي الله عنها: (ما ضرب رسول الله صلى الله عليه وسلم شيئا قط بيده ولا امرأة ولا خادما إلا أن يجاهد في سبيل الله وما نيل شيء منه قط فينتقم من صاحبه إلا أن ينتهك شيء من محارم الله تعالى فينتقم لله تعالى). رواه مسلم. وكانت زوجه عائشة إذا هويت شيئا أتبعها إياه ما لم يكن إثما وقد أذن لها صلى الله عليه وسلم بالنظر إلى أهل الحبشة وهم يلعبون وأذن لها بالفرح واللعب يوم العيد.

2- الرفق مع الخادم: فعن أنس بن مالك رضي الله عنه قال: (خدمت رسول الله صلى الله عليه وسلم عشر سنين والله ما قال لي أف قط ولا قال لي لشيء لم فعلت كذا وهلا فعلت كذا). روه مسلم.

3- الرفق مع الأطفال: فعن عائشة رَضِيَ اللهُ عَنْهُا قالت: (كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يؤتى بالصبيان فيبرك عليهم ويحنكهم ويدعو لهم). أخرجه البخاري. وعن أنس رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قال: (كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يزور الأنصار ويسلم على صبيانهم ويمسح على رؤوسهم). رواه النسائي. وكان دائما يقبل الحسن والحسين ويلاعبهما. وحمل أمامة بنت زينب في الصلاة رفقا بها.

4- الرفق مع السائل: قال أنس : (كنت أمشي مع رسول الله صلى الله عليه وسلم وعليه برد نجراني غليظ الحاشية فأدركه أعرابي فجبذه بردائه جبذة شديدة فنظرت إلى صفحة عاتق النبي صلى الله عليه وسلم وقد أثرت بها حاشية الرداء من شدة جبذته ثم قال يا محمد مر لي من مال الله الذي عندك فالتفت إليه فضحك ثم أمر له بعطاء). متفق عليه .

5- الرفق في تعليم الجاهل: عن معاوية بن الحكم السلمي رضي الله عنه يقول: (بينما أنا أصلي مع رسول الله صلى الله عليه وسلم، إذ عطس رجل من القوم، فقلت: يرحمك الله. فرماني القوم بأبصارهم فقلت: واثكل أميّاه، ما شأنكم تنظرون إلي فجعلوا يضربون بأيديهم على أفخاذهم، فلما رأيتهم يصمتونني، لكن سكت، فلما صلى النبي صلى الله عليه وسلم، فبأبي هو وأمي، ما رأيت معلماً قبله ولا بعده أحسن تعليماً منه، فو الله ما كهرني ولا ضربني، ولا شتمني، قال: إن هذه الصلاة لا يصلح فيها شيء من كلام الناس، إنما هو التسبيح والتكبير، وقراءة القرآن). رواه مسلم.

6- الرفق في الأمر بالمعروف والنهي عن المنكر: عن أَبي هريرة رضي الله عنه قَالَ : (بال أعرابي في المسجد فقام الناس إليه ليقعوا فيه فقال النبي صلى الله عليه وسلم دعوه وأريقوا على بوله سجلا من ماء أو ذنوبا من ماء إنما بعثتم ميسرين ولم تبعثوا معسرين). رواه البخاري.

7- الرفق مع العاصي التائب: عن أبي هريرة رضي الله عنه أنه قال: (بينما نحن جلوس عند النبي صلى الله عليه وسلم إذ جاءه رجل فقال يا رسول الله هلكت، قال ما لك قال وقعت على امرأتي وأنا صائم فقال صلى الله عليه وسلم هل تجد رقبة تعتقها قال: لا قال فهل تستطيع أن تصوم شهرين متتابعين؟ قال: لا فقال فهل تجد إطعام ستين مسكينا قال لا فمكث النبي صلى الله عليه وسلم قال فبينما نحن على ذلك أُتي النبي صلى الله عليه بعرق فيه تمر والعرق المكتل فقال: أين السائل فقال: أنا فقال: خذه فتصدق به). متفق عليه. وكذلك رفق مع الرجل الذي قبل امرأة وجاء نادما فبين له أن الصلاة كفارة لذنبه ولم يعنف عليه وهذا ثابت في الصحيح.

8- الرفق في الصبر على الأذى: قالت عائشة رضي الله عنها للنبي صلى الله عليه وسلم: (عن عائشة رضي الله عنها قالت للنبي صلى الله عليه وسلم : هل أتى عليك يوم أشد من يوم أحد قال ( لقد لقيت من قومك ما لقيت وكان أشد ما لقيت منهم يوم العقبة إذ عرضت نفسي على ابن عبد ياليل بن عبد كلال فلم يجبني إلى ما أردت فانطلقت وأنا مهموم على وجهي فلم أستفق إلا وأنا بقرن الثعالب فرفعت رأسي فإذا أنا بسحابة قد أظلتني فنظرت فإذا فيها جبريل فناداني فقال : إن الله قد سمع قول قومك لك وما ردوا عليك وقد بعث الله إليك ملك الجبال لتأمره بما شئت فيهم فناداني ملك الجبال فسلم علي ثم قال : يا محمد ، فقال : ذلك فيما شئت إن شئت أن أطبق عليهم الأخشبين فقال النبي صلى الله عليه وسلم : بل أرجو أن يخرج الله من أصلابهم من يعبد الله وحده لا يشرك به شيئاً). متفق عليه.

9- الرفق في التعامل مع الكفار: فعن عائشة رضي الله عنها قالت: (دخل رهط من اليهود على رسول الله صلى الله عليه وسلم فقالوا: السام عليك ففهمتها فقلت: عليكم السام واللعنة. فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: مهلاً يا عائشة فإن الله يحب الرفق في الأمر كله، فقلت: يا رسول الله، أولم تسمع ما قالوا قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : فقد قلت عليكم). متفق عليه. وكان صلى الله عليه وسلم يخاطب الكفار ويناظرهم ويقبل هديتهم ويعود مريضهم ويجيرهم ويحسن إليهم إذا اقتضت المصلحة ذلك.

10- الرفق بالناس في العبادات: قال جابر بن عبد الله: (أقبل رجل بناضحين وقد جنح الليل فوافق معاذا يُصلي فترك ناضحه وأقبل إلى معاذ ، فقرأ بسورة البقرة أو النساء ، فانطلق الرجل وبَلَغَه أن معاذا نال منه ، فأتى النبي صلى الله عليه وسلم فَشَكَا إليه معاذا ، فقال النبي صلى الله عليه وسلم : يا معاذ أفتان أنت أو فاتن ثلاث مرار فلولا صليت بـ سبح اسم ربك والشمس وضحاها والليل إذا يغشى ، فإنه يصلي وراءك الكبير والضعيف وذوالحاجة). متفق عليه. وعن أنسأن النبي صلى الله عليه وسلم قال: (إني لأدخل الصلاة أريد إطالتها، فأسمع بكاء الصبي فأخفف من شدة وجد أمه به). رواه مسلم. ومن رفق النبي صلى الله عليه وسلم بأمته أنه نهاهم عن الوصال خشية المشقة بهم ورفقه بهم في ترك الأمر بالسواك عند الصلاة وترك تأخير العشاء إلى وقتها الفاضل خشية المشقة عليهم وغير ذلك مما يطول ذكره كالإبراد بالصلاة وقت الحر والجمع بين الصلوات حال العذر.

11- الرفق مع النفس في التطوع: فعن عائشة رضي الله عنها قالت (كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يصوم حتى نقول لا يفطر ويفطر حتى نقول لا يصوم). متفق عليه. وكان عمله ديمة ولو قل.. وقال صلى الله عليه وسلم: (خذوا من الأعمال ما تطيقون فإن الله لا يمل حتى تملوا). متفق عليه. ونهى عبد الله بن عمرو عن المبالغة في العبادة خشية تضييع الحقوق والواجبات.

ومع كون الرفق غالبا على تصرفات النبي صلى الله عليه وسلم في كثير من أحواله إلا أنه استعمل الشدة في أحوال خاصة كانت الشدة هي اللائقة بها والمناسبة لها وتتحقق فيها المصلحة أكثر من الرفق وسلوكها مقتضى العدل وكمال العقل الذي دل عليه الشرع:
1- في إقامة الحدود: عن أبي هريرة وزيد الجهني أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: (والذي نفسي بيده لأقضين بينكما بكتاب الله، الوليدة والغنم
رد عليك، وعلى ابنك جلد مائة وتغريب عام، واغد يا أنيس إلى امرأة هذا، فإن اعترفت فارجمها). متفق عليه. وكان لا تأخذه رأفة ورحمة في إقامة الحدود وتنفيذها.
2- في مقام التعزير: كما في قصة هجر كعب بن مالك وصاحبيه حين تخلف الثلاثة عن غزوة تبوك فهجرهم النبي صلى الله عليه وسلم والصحابة خمسين يوماً حتى ضاقت عليهم الأرض بما رحبت وضاقت عليهم أنفسهم ولم يكن أحد يجالسهم أو يكلمهم أو يحيهم حتى أنزل الله في كتابه توبته عليهم والقصة ثابتة في الصحيحين.
3- في تأديب الزوجة: فقد هجر نسائه شهرا وامتنع عن وطئهن واعتزل بيوتهن في مشربة له لما ألحفن عليه في النفقة كما في الصحيحين من حديث ابن عباس: (أَن النبي صلى الله عليه وسلم آلى من نسائه شهرا فلما مضت تسع وعشرون نزل إليهن).
4- في قتال الكفار وجهادهم: قال الله تعالى: (يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ جَاهِدِ الْكُفَّارَ وَالْمُنَافِقِينَ وَاغْلُظْ عَلَيْهِمْ وَمَأْوَاهُمْ جَهَنَّمُ وَبِئْسَ الْمَصِيرُ).
5- في زجر العاصي المعاند: عن سلمة بن الأكوع قال: (أن رجلا أكل عند رسول الله صلى الله عليه وسلم بشماله , فقال : كل بيمينك. قال : لا أستطيع. قال لا استطعت , ما منعه إلا الكبر. قال : فما رفعهما إلى فيه). رواه مسلم.
6- في النهي عن البدع والمحدثات: لما رأى عمر بيده التوراة غضب وأنكر عليه بقوله: (لا تسألوا أهل الكتاب عن شيء فإنهم لن يهدوكم وقد ضلوا وإنكم إما أن تصدقوا بباطل وإما إن تكذبوا بحق وإنه والله لو كان موسى حيا بين أظهركم ما حل له إلا أن يتبعني). رواه أحمد.

ومع ذلك فلم يكن في شدته ظلم لأحد أو مجاوزة لحدود الله في حقوق الخلق وحرمتهم. فالفقه في هذا الباب أن المشروع للمسلم استعمال الرفق في سائر الأمور إلا إذا دعت الحاجة واقتضت المصلحة في استعمال الشدة فيكون ترك الرفق في هذا المقام مشروعا.

وبهذا يتبين أن سلوك الرفق في كل شيء حتى إذا انتهكت محارم الله وضيعت الحقوق وأميتت السنة مسلك خاطئ مخالف للشرع وقد ثبت في الصحيح أن النبي صلى الله عليه وسلم يغضب إذا انتهكت محارم الله. وكذلك سلوك الشدة في سائر الأحوال والأمور مسلك خاطئ يفضي إلى تنفير الناس وصرفهم عن الحق ووقوع العداوة والبغضاء وقد أمر النبي صلى الله عليه وسلم بالتيسير وعدم التعسير وكان يرشد أصحابه بذلك إذا بعثهم إلى الأمصار. والحاصل أن الفقه والبصيرة في الدين هي أن الأصل في الأمور كلها الرفق إلا في أحوال قليلة تستعمل الشدة. قال النووي في شرح حديث الرفق: (وفيه حث على الرفق والصبر والحلم وملاطفة الناس ما لم تدع حاجة إلى المخاشنة). وهذا المسلك الحق من توفيق الله للعبد وتيسيره. فهنيئا بمن اقتدى بالرسول الكريم صلى الله عليه وسلم وكان رفيقا لطيفا متسامحا تاركا للعنف والشدة هينا قريبا يألف ويؤلف.